Bonekryzie Jenkins my facebook and my twitter bonekryzie »

14 Okt 2009

Pelayanan Kapal INSTANSI TERKAIT DALAM PELAYANAN KAPAL DIPELABUHAN

Pelabuhan merupakan sistem terpadu yang berfungsi untuk melayani kapal dan berbagai transaksi yang berlangsung dipelabuhan . Dalam sistem tersebut terdapat berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang bekerja saling mendukung untuk melayani kapal serta muatannya. Ada instansi pengelola pelbuihan yang sangat berperan, yaitu Administrator Pelabuhan dan PT. Pelabuhan Indonesia.
Administrator pelabuhan mempunyai tugas memadukan rencana operasional dalam mempergunakan tambatan/gudang dan fasitas pelabuhan lainnya. Administrator pelbuhan juga mengendalikan kelancaran arus kapal dan barang juga mengadakan pembinaan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM), serta mengkoordinir instansi yang ada dalam pelabuhan.
PT.Pelabuhan Indonesia (Pelindo) menyediakan dan mengusahakan fasilitas pelabuhan yang memungkinkan kapal dapat berlabuh dengan aman dan dapat melakukan kegiatan bongkar/muat, serta menetapkan alokasi tempat tambatan dan waktu kapal bertambat dan menetapkan target produksi kegiatan bongkar/muat. Selain itu, Pelindo juga mengawasi pelksanaan pemakaian tambatan sesuai dengan perencanaan sebelumnya.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.26 Tahun 1998, Bab VII tentang Pelaksana Kegiatan diPelabuhan laut, dalam Pasal 14 disebutkan bahwa pelaksana kegiatan di pelbuhan laut terdiri dari instansi pemerintah yang merupakan pemegang fungsi :
Keselamatan Pelayaran (ADPEL)
Bea dan Cukai
Imigrasi
Karantina
Keamanan dan Ketertiban.
Adapun instansi pemerintah dan perusahaan swasta yang berperan dipelabuhan adalah sebagai berikut.


Instansi Pemerintah
a. Administrator Pelabuhan
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.67 Tahun 1999, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrasi Pelabuhan Bab I, Pasal 1 :
1) Kantor Administrator Pelabuhan adalah unit organik dibidang keselamatan pelayaran dipelabuhan yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan di Lingkungan Departemen Perhubungan.
2) Kantor Administrator Pelabuhan Kelas I ( Utama ) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut dan Kantor Administrator Pelabuhan lainnya berada dibawah dan tanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan.
3) Kantor Administrator Pelabuhan dipimpin oleh Kepala Kantor.

Menurut pasal 2, Administrator Pelabuhan mempunyai tugas menyelenggarakan
Pemberian pelayanan keselamatan pelayaran di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan untuk memeperlancar angkutan laut.

Menurut pasal 3, dalam melaksanakan tugas seperti dimaksud dalam pasal 2, Kantor Administrator Pelabuhan menyelenggarakan fungsi :
1) Penilikan kegiatan lalu lintas angkutan laut yang meliputi kapal, penumpang, barang dan hewan serta pemantauan pelaksanaan tarif angkutan laut.
2) Pembinaan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan pemantauan pelaksanaan tarif TKBM.
3) Penilikan terhadap pemenuhan syarat kelaiklautan kapal dan pengeluaran Surat Izin Berlayar (SIB).
4) Pencegahan dan penagulangan pencemaran serta pamadam kebakaran diperairan pelabuhan.
5) Pengaman, penertiban, dan penegakan peraturan perhubungan laut didalam daerah lingkungan kerja pelabuhan guna menjamin kelancaran operasianol dibidang pelabuhan.
6) Pengawasan keselamatan dibidang pembangunan fasilitas dan peralatan pelabuhan , alur pelayaran dan kolam pelabuhan serta pemantanuan kerja operasional pelabuhan.
7) Pemeriksaan nautis, teknis, radio, pembangunan dan perombakan kapal serta pemberian sertifikasi.
8) Pelaksanaan pengukuran dan status hukum kapal, serta pengurusan dokumen pelaut, penyijilan awak kapal dan perjanjian kerja laut.
9) Pelaksanaan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha dan rumah tangga Kantor Administrator Pelabuhan.

Menurut Pasal 4: Kantor Administrator Pelabuhan diklasifikasikan dalam 5 ( Lima ) kelas yaitu :
Kelas I; 2) Kleas II; 3) Kelas III; 4) Kelas IV; dan 5) Kelas V.

Sedangkan pembagian tugas disemua kantor Administrator Pelabuhan adalah :
Bidang Tata Usaha
Bidang Lalu – Lintas Laut dan Kepelabuhan
Bidang Penjagaan dan Keselamatan
Bidang Kelaiklautan Kapal

b. Bea dan Cukai
Sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 10/1995 tentang Kepabeanan, Direktorat Bea Cukai yang berada dibawah Departemen Keuangan mengatur dan mengawasi kepabeanan diseluruh wilayah Indonesia. Jadi, secara umum, tugas Bea dan Cukai adalah mengenakan pajak cukai terhadap barang atau muatan yang masuk keluar daerah dimana pemerintah telah mengenakan kewajiban untuk membayar bea.

Insatansi Bea dan Cukai di Pelabuhan memiliki tugas :
Mengadakan pemeriksaan terhadap keluar/masuknya barang di daerah Bea dan cukai
Pemeriksaan terhadap barang-barang muatan dikapal maupun di gudang
Menetapkan besarnya bea masuk sesuai tarif untuk jenis barang berdasarkan tarif yang ditetapkan pemerintah
Mengawal barang yang belum terkena bea masuk dari pelabuhan ke enterport atau sebaliknya
Mengawal barang dari kawasan pedalaman yang dinyatakan daerah bea dan cukai kepelabuhan atau sebaliknya.

c. Syahbandar

Syahbandar adalah badan yang melaksanakan port clerance, yaitu pemeriksaaan surat-surat kapal, agar kapal dapat keluar masuk pelabuhan. Syahbandar adalah penegak hukum dalam ketertiban bandar dan pengawas keselamatan pelayaran. Kapal – kapal harus memiliki dokumen yang menyatakan bahwa kapal layak laut berlayar serta telah memenuhi syarat dan ketentuan keselamatan pelayaran.

d. Imigrasi

Direktorat Imigrasi adalah badan yang berada di bawah Departemen Kehakiman. Di pelabuhan, instansi ini mempunyai tugas untuk :
Mengawasi keluar masuknya orang sesuai ketentuan dari keimigrasian .
Memeriksa penumpang dan awak kapal, dalam hal penumpang asing yang hendak masuk atau keluar daerah hukum indonesia.
Dalam hal ini akan diperiksa paspornya apakah sudah memenuhi ketentuan.
Memeriksa paspor ABK (anak buah kapal).
Memberikan immigration clearance.

e Dinas Karantina dan Dinas Kesehatan. .
Sesuai dengan KM. 26/1998, Dinas Karantina disatukan dengan Dinas Kesehatan. Adapaun tugas Dinas Karantina di pelabuhan adalah:
Melakukan pelayanan kesehatan.
Memeriksa dan meneliti buku kesehatan, derating certificate, daftar awal kapal dan penumpang
Memberikan health certificate dan health clearance.
Mengawasi tumbuh – tumbuhan dan hewan yang dibawa keluar masuk pelabuhan melalui kapal.
Bila perlu melakukan karantina.

Dinas kesehatan pelabuhan merupakan insatansi yang berada di bawah Departemen Kesehatan. Dinas Kesehatan Pelabuhan meiliki tugas untuk :
Melakukan pelayanan kesehatan.
Meneliti dan memeriksa buku kesehatan deratting certificate (sertifikat bebas tikus), daftar awak kapal dan penumpang .
Memeberikan health cetificate dan health clearance.

f. Keamanan dan Ketertiban.
Kesatuan Penjaga laut dan Pantai (KPLP) merupakan penjaga keamanan perairan pelabuhan dan pantai sekitarnya. Polisi yang bertugas di pelabuhan adalah polisi khusus yang Dinamakan Kesatuan Penjaga dan Keamanan Pelabuhan (KP3).

g. Sucopindo.
Sucopindo (Supertintending Company Indonesia) merupakan bagian dari Departemen yang bertugas menilai mutu, harga, dan jumlah harga dari muatan yang keluar / masuk Indonesia. Disamping itu, Sucofindo juga bertindak sebagai lembaga penelitian pemerintah mengenai jumlah dan mutu dari muatan. Badan ini berhak mengeluarkan setifikat – setifikat yang diperlukan.
Bila diperlukan, Sucopindo juga memeriksa keadaan muatan diluar negeri yang diimpor ke indonesia, serta menyatakan harganya dan mutunya untuk keperluan bea masuk.

PERUSAHAAN SWASTA
Perusahaan swasta (Badan Hukum Indonesia) yang melaksanakan jasa kepelabuhan berkaitan dengan lalu lintas kapal, penumpang, dan barang terdiri dari :

a. Perusahaan Pelayaran
Perusahaan pelayaran adalah perusahaan yang mengoperasikan kapal-kapal, baikkapal milik sendiri maupun sewa (charter).



Perusahaan Bongkar Muat (PBM).
Perusahaan bongkar muat adalah perusahaan yang bergerak dalam kegiatan bongkar dan muat barang/petikemas ke kapal.
Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), dan Freight Forwarder.
Adalah perusahaan yang menyediakan jasa pengurusan barang-barang di bea-cukai, pelayaran dan angkutan.
Perusahaan Angkutan Bandar.
Perusahaan angkutan bandar adalah perusahaan yang mengadakan angkutan barang dan manusia antara kapal dan daratan.
e. Perusahaan Angkutan Darat.
Perusahaan angkutan darat adalah perusahaan angkutan barang yang dibongkar/muat dari kapal.
f. Perbankan
Perbankan adalah perusahaan yang mengadakan jas perbankan untuk di pelabuhan, terutama transaksi ekspor/impor barang.
g. Surveyor.
Surveyor adalah perusahaan yang mensurvei mutu suatu keadaan barang atau jasa.
h. Jasa Konsultan.
Jasa konsultan adalah memberi saran atau nasihat tentang suatu masalah berikut cara menyelesaikannya.
i. Perusahaan Persewaan Peralatan.
Perusahaan persewaan peralatan adalah perusahaan yang menyewakan peralatan bongkar/muat dan transpot.
Pemasok.
Pemasok (supplier) adalah leveransir barang atau bahan makanan untuk keperluan kapal.





PENGELOLAN PELABUHAN DI INDONESIA

DiIndonesia ,umumnya pelabuhan dimiliki oleh negara, dalam hal ini adalah Direktorat Jendral PerhubunganLaut di bwah Depatemen Perhubungan. Namun ada juga pelabuhan yang dibuat dan diusahakan oleh swasta, seperti pelabuhan Bogasari dan pelabuhan Timika d Papua. Dalam pelaksanaan nya, pengelolaan pelabuhan diserahkan oleh pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk tujuan itu selaku Baa Usaha Pelabuhan (BUP). Sedang sarana penujang, pemerintah menyerahkannya pada badan usah swasta, milik negara, atau koperasi yang disebut sebagai Badan Hukum Indonesia (BHI). Hal ini diatur dlam UU No.2 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelabuhan, pemerinah menyerahkan pada dua badan, Yaitu :
1. Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang merupakan Badan Usaha MilikNegara (BUMN) yang didirikan khusus untuk tujuan penyelenggaraan pelabuhan umum.
2. Badan Hukum Indonesia (BHI) yang merupakan badan usaha yang dimiliki oleh swasta dan/atau negara dan/atau koerasi, yang melaksanakan kegiaan usaha dalam menunjang kelancaran angkutan laut di pelbuhan umum, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku.
Seperti telah dijelaskan sbelumnya, dalam pelabuhan terdapat beberap insatansi pemerintah dan perusahaan swasta. Badan-badan tersebut terlibat dalam kegiatan pelabuhan dengan fungsinya dan perannya masing-masing.

Berikut ini adalah peran dari badan-badan yang terlibat dalam aktivitas dipelabuhan.
Regulator, yang terdiri dari instansi Pemerintah (Adpel) dipelabuhan yang melaksanakan fungsi keselamatan pelayaran , bea dan cukai, imigrasi, karanina, serta keamanan dan ketertiban.
Operator adalah BHI yang melaksanakan kegiatan usaha pelayanan jasa terhadap kapal dan barang dipelabuhan dalam rangka menunjang kegiatan angkutan laut yang terdiri dari ekspedisi muatan kapal laut, bongkar maut, angkutan bandar, dan lain sebagainya sesuai dengan perkembangan tekologi.
Fasilitator adalah BUP selaku penyelenggra pelabuhan yang diusahakan meleksanakankegiatan untuk melindungi kepentingan umum serta terwujudnya tatanan pelbuhan nasional.
Pengguna, yang terdiri dari penerima atau pengirim barang dan pemilik kapal (perusahaan pelayaran atau agennya) yang membutuhkan pelayanan jasa pelabuhan dalam proses kegiatan angkutan laut.

PT. Pelindo dan Lingkup Usahanya
Berdasarkan undang-undang No.21 tahun 1992 pasal 26 Ayat (1) didirikan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dan kini statusnya berubah menjadi PT.Pelabuhan Indonesia (PT.Pelindo). Untuk PT.Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV (PT.Pelindo) berdasarkan PP NO. 56, 57, 58, dan 59 tahun 1992 dialihkan bentuk dari perusahaan umum (Perum) menjadi PT (Persero). Dengan ditetapkan UU No. 21/Thn 1992 tentang tetang pelayan dan PP No.70/Thn 1996 tentang kepelabuhan, maka PT Pelindo secara langsung berada sebagai penyelenggara Pelabuhan yang diusahakan selaku Badan Usaha Pelabuhan yang diusashakan selaku ada pelabuhan (BUP) Ruang lingkupRuang Lingkup Usaha PT. Pelindo Berdasarkan PP No. 56, 57, 58, dan 59/thn 1996 tersebut meliputi :
Mengusahakan kolam-kolam pelabuhan dan luas perairan untuk lalu lintas pelayaran dan tempat berlabuh.
Mengusahakan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan kapal-kapal (pilotage) dan memberikan jasa penundaan kapal laut.
Mengusahakan dermaga untuk bertambat, bongkar muat barang dan hewan, serta penyediaan fasilitas naik turunnya penumpang.
Mengusahakan gudang-gudang dan tempat penimbunan barang, angkutan bandar, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan .
Mengusahakan tanah untuk berbagai bangunan dan lapangan sebungan kepentingan kelancaran angkutan laut dan industri.
Mengusahakan aliran listrik, saluran air minum dan menyediakan jaringan jalan dan jembatan serta pembuangan air dan pemadam kebakaran.
Mengusahakan jasa terminal.
Mengusahakan jasa usaha lain yang dapat menunanjang tercapainya tujuan.

Badan Hukum Indonesia (BHI)
Seperti dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan Badan Hukum Indonesia adalah perusahaan swasta, badan usaha milik negara atau koperasi yang bertugas untuk menunjang kelancaran pengangkutan dipelabuhan.
BHI yang penting diketahui dipelabuhan adalah perusahaan-perusahaan pelayaran, perusahaan bongkar muat, freight forwarder, EMKL, dan surveyor.
Perusahaan Pelayaran
Ruang lingkup usaha pelayaran adalah sebagai berikut:
1) Usaha pokok pelayaran berupa penyelenggaraan angkutan baang dengan mempergunakan kapal.
2) Usaha keagenan yang merupakan usaha pelayanan atas kapal orang lain.
3) Usaha penunjang kegiatan pelayaran.
Sedangkan jenis usaha pelayaran dibagi lagi dalam berbagai kategori berikut ini:
Pelayaran Dalam Negeri merupakan kegiatan angkutan laut antar pelabuhan di wilayah Indonesia, baik diselenggarakan secara teratur/tetap atau secara tramper.
Pelayaran rakyat merupakan kegiatan angkutan barang antar pelabuhan di Indonesia dengan mempergunakan kapal layar atau layar motor yang berukuran sampai 300 GRT dan kapal motor yang berukuran sampai dengan 35 GRT.
Pelayaran Perintis merupakan kegiatan angkutan barang ke daerah terpencil atau daerah belum berkembang yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta yang disubsidi pemerintah.
Pelayaran Luar Negeri merupakan pelayaran samudera yang menghubungi pelbuhan di dalam negeri dengan pelbuhan luar negeri, yang dapat berupa liner atau tramper.


b. Perusahaan BongkarMuat (PBM)
Perusahaan bongkar muat beroperasi dipelabuhan di Indonesia sesuai SK Menteri Pehubungan Nomor :KM 88/AL 305/phb-85 dan KM 13 tahun 1989. Kegitan perusahaan bongkar muat meliputi membongkar dan memuat barang dari kapal, pergudangan, dan penumpukan


c. Freight Forwader dan EMKL.
Freight fowader adalah perusahaan jasa pengurusan muatan dan umunya dilakukan dari pintu kepintu. Perusahaan ini mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi laut,darat, dan udara. Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No: KM 10/Thn 1988.
Sedangkan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) adalah perusaaan jasa untuk pengurusan dokumen dan muatan yang diangkut/atau diterima oleh pengirim/penerma dari pelangganya.
Perusahaan Surveyor
Perusahaan Swasta Lainnya.
Selain perusahaan swast yang telah disebutkan diatas, masih ada beberapa perusahaan swasta lain yang menyediakan jasa kepelabuhan terutama berkaitan dengan lalu lintas kapal, penumpang dan barang .
Perusahaan tersebut antara lain adalah :
- Perusahaan angkutan darat/tongkang
- Perbankan
- Jasa konsultan
- Persewaan peralatan.
- Depot petikemas
- Pemasok (Supplier) kapal
- Penyediaan untuk store kapal










PELAYANAN PELABUHAN
Pelabuhan memberikan fasilitas dan pelayanan untuk kapal yang berkunjung. Pelayanan tersebut bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaiut pelayanan untuk kapal dan pelayanan untuk barang.
1. Pelayanan Kapal
a. Jasa Labuh
Jasa labuh dikenakan terhadap kapal yang mrngunakan periran pelabuhan .Tarif jasa labuh didasarkan pada gross register ton dari kapal yang dihitung per 10 hari.
b. Jasa Tambat
Setipa kapal yang berlabuh di pelabuhan Indonesia dan tidak melakukan kegiatan, kecuali kapal perang dan kapal pemerintah Indinesia, akan dikenakan jasa tambat. Ketentuan jasa tambat diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 65 Tahun 1994, Bab III Pasal 4 yang berisi :
Tarif jasa tambat dikenakan terhadap kapal yang bertambat di tambatan beton dan besi/kayu, pelampung dan breasting dolphin pinggiran serta kapal yang merapat pada kapal lain yang sedang sandar/tambat.
Terhadap kapal ro-ro dan ferry yang apabila bertambat pada tambatan menggunakan rampdoor, dikenakan tarif tambatan sebesar 25% (dua puluh lima perden) dari tarif dasar.
Kapal yang bertambat diberi batas waktu sebagai berikut :
a) Kapal yang berukuran sampai dengan 999 GRT diberibatas waktu 3 etmal.
b) Kapal yang berukuran 1.000 GRT sampai dengan 2.499 GRT diberi batas waktu 4 etmal.
c) Kapal yang berukuran 2.500 GRT sampai dengan 4.999 GRT diberi batas waktu 6 etmal.
d) Kapal yang berukuran 5.000 GRT sampai dengan 9.999 GRT diberi batas waktu 8 etmal
e) Kapal yang berukuran 10.000 GRT sampai dengan 14.999 GRT diberi batas waktu 10 etmal
f) Kapal yang berukuran 15.000 GRT keatas diberi batas batas waktu 14 etmal.
Kelebihan waktu tambat dari batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 3) dikenakan tarif jasa tambat sebesar 200 % (dua ratus persen) dari tarif dasar.
Tarif jasa tambat dihitung sekurang-kurangnya untuk ¼ etmal (6 Jam) dengan pembulatan sebagai berikut :
g) Pemakaian tambat samapaidengan 6 jam dihitung ¼ etmal.
h) Pemkaian tambat lebih dari 6 jam sampai dengan 12 jam dihitung ½ etmal.
i) Pemakaian tamabat lebih dari 12 jam sampai 18 jam dihitung ¾ etmal
j) Pemakaian tambat lebihdari 18 sampai dengan 24 jam dihitung 1 etmal.
Kapal yang bertambat lebih dari 1 (satu) tambatan (berpindah tambatan) perhitungan masa tambatnya didasarkan pada penjumlahan waktu dari penggunaan tambatan dan penjumlahan waktu dari penggunaan tambatan dan dikenakan tarif tambatan tertinggi, tidak termasuk waktu bertambat pada pelampung dan breasting dolphin.

c. Jasa pemanduan
Setiap kapal yang berlayar dalam perairan pelabuhan waktu masuk, keluar atau pindah tambatan wajib memepergunakan pandu. Sesuai dengan tugasnya, jasapemanduan ada dua jenis, yaitu pandu laut dan pandu bandar,
Pandu laut, adalah pemanduan di perairan antara batas luar perairan hingga batas pandu bandar.
Pandu bandar adalah pandu yang bertugas memandu kapal dari batas perairan bandar hingga kapal masuk di kolam pelabuhan dan sandar di dermaga.
Bila terjadi kecelakaan kapal, meskipun sudah dipandu tetap menjadi tanggung jawab nakhoda karena pandu hanya bertindak sebagai penasehat/penuntun alur (Loodsdienst ordonatie stbl. No:62/tahun 1927). Pandu-pandu berada dibawah pengawasan Kepala Kepanduan dan Kesyahbandaran.
Dalam organisasi tata kerja kantor Administrator Pelabuhan sesuai Keputusan Menteri Perhubungan No: KM.67 Tahun 1999, kesyahbandaran hanya merupakan seksi dari bidang Penjagaan dan Penyelamatan meskipun tugas kesyahbandaran mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal dan pengeluaran surat izin berlayar (SIB), pengwasan kapal asing (port state control) dan bongkar muat barang berbahaya serta pengusutan kecelakaan kapal.
Syahbandar bertugas sebagai penegak hukum dibidang ketertiban bandar dan keselamatan pelayaran. Dalam tugas nya sebagai port state control ,syahbandar juga berkewajiban memeriksa dokumen-dokumen kapal yang berkaitan dengan ISM-Code sesuai persyaratan International Maritime Organazation (IMO). Bila sebuah kapal tidak memenuhi syarat, syahbandar dapat menahan kapal itu sampai syarat-syarat keselamatan dapat dipenuhi semuanya.
Untuk menjalankan tugasnya, syahbandar dibantu oleh petugas-petugas kesyabandara. Bila tidak tersedia pandu maka syahbandar dapat memberikan izin kepada nakhoda untuk memasukkan kapalnya sendiri dengan syarat :
Nakhoda sudah seringkali keluar/masuk perairan dengan pertolongan pandu dipelabuahn tersebut.
Hanya dapat diberikan untuk satu kali pelayaran keluar-masuk pelabuhan.

Demi keselamatan kapal yang berolah gerak dalam perairan pelabuhan, kapal harus mempergunakan kapal tunda. Tarif jasa penundaan didasarkan pada kelompok GRT kapal dan unit kapal tunda yang dipakai serta jam pemakaian.
Ketentuan penggunaan kapal tunda dan kapal kepil adalah sebagai berikut :
panjang kapal 71 s/d 100 meter, minimal dibantu oleh satu kapal tunda berdaya 600 PK s/d 1.200 PK.
Panjang kapal 101 s/d 150 meter, minimal dibantu oleh dua kapal tunda dengan daya 1.700 PK s/d 3.400 PK.
Panjang kapal 151 s/d 200 meter , minimal dengan tiga kapal tunda dengan daya 5.000 PK s/d 10.000 PK.
Panjang kapal diatas 300 meter, minimal harus dibantu dengan empat kapal tunda dengan daya minimal 10.000 PK..

2.Pelayan Untuk Barang
a. Jasa dermaga
Setiap barang yang dimuat dan dibongkar lewat dermaga dikenakan uang dermaga (Wharfage). Tarif uang dermaga didasarkan pada Ton/M3 barang.
b. Untuk barang-barang yang ditumpuk sementara, baik dalam gudang maupun lapangan terbuka dikenakan biaya penumpukan.Tarif jasa penumpukan didasarkan pada Ton/M3.





PROSES PENGISIAN AIR TAWAR


1. Permintaan air tawar dari kapal melalui master cable/telpon ,facimail yang ditujukan kecabang-cabang perusahaan pelayaran/ agent (Pt.Pelni cabang Tg.Priok) atas dasar permintaan dari perusahaan pelayaran/agent mengajukan permintaan pengisian air tawar ke Pt.Pelindo melalui PPKB ( Permintaan pelayanan kapal dan barang) secara on line.

Booking PPKB pengisian air tawar berdasarkan jadwal/schedule kapal dapat dilakukan 1 (satu) atau 2 (dua) hari sebelum kapal tiba yang gunanya agar dari petugas air PT.Pelindo ada persiapan yang lebih awal sehingga pelayan bisa lebih baik.

Untuk pengisian PPKB air agar menyampaikan :
- Posisi kapal disandarkan
- Tanggal/jam kedatangan kapal
- Jumlah pengisian air yang dibutuhkan
- Apakah mellewat papa atau tongkang.
Pada saat hari kedatangan kapal tiba/sandar petugas PT.Pelni mengawasi pengisian air tawar yang dikerjakan oleh petugas air dari PT.Pelnido meliputi :
- Kesiapan kapal (Mistri) untuk pengisian
- Pemasangan meter air dan selang dari kade/tongkang keatas kapal
- Mencatat flow meter awal selanjutnya dialirkan
- Setelah selesai pengisian air kemudian dihitung jumlah yang masuk dengan melihat flow meter
- Bentuk penerima air ditanda tangani oleh Nakhoda , Mualim I atau Mistri yang bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan pengisian air tawar dikapal.



PROSES PENGISIAN BAHAN BAKAR

Dimulai dengan adanya permitaan bunker meluai facimail kapal ke kantor pusat (PT.Pelni) untuk konsumsi bahan baker yang dibutuhkan dipelbuhan tujuan. Dengan permintaan/permohonan bunker dari kapal ke kantor pusat (PT.Pelni), yang kemudian ditangani oleh bagian Divisi Kapal Penumpang melakukan penghitungan ulang yang hasilnya adalah suatu persetujuan seberapa banyak bahan bakar yang akan disupply kekapal dipelabuhan tujuan tersebut. Surat persetujuan pengisian bahan bakar dikirim melalui facimail ke Kantor Cabang (PT.Pelni) beberapa hari sebelum kapal tiba untuk melakukan pengisian. Dengan dasar permintaan dari kapal dan persetujuan dari Kantor Pusat pihak cabang kemudian mengajukan permohonan bunker ke Pihak Pertamina. Disini Pihak Pertamina memberlakukan syarat permohonan bunker yang harus dilengkapi oleh pihak Pelayaran .
Syarat yang harus dipenuhi :
- Spesifikasi Kapal
- Surat Ukur Kapal
- Rencana Pola Trayek
- Permintaan kapal atau persetujuan bunker dari perusahaan Pelayaran
- Surat permohonan bunker berbendera perusahaan pelayaran
- Formolir persetujuan BBM dari Pertamina untuk persetujuan bunker kepada Perusahaan Pelayaran (Ada perhitungan konsumsi untuk jarak pelabuhan berikutnya).

Setelah proses permohonan kepada Pertamina selesai dan menyetujui berapa banyak permohonan tersebut, maka pihak pemohon/pelayaran baru boleh melakukan transaksi penebusan atau pembayaran bunker ke Pertamina melalui Transfer Bank .
Harga BBM yang berlaku saat ini (Terhitung 1 Maret 2005) :
H S D : Harga dasar minyak Rp.2.000,-
PPn 10 % Rp. 200,-
Rp.2.200,-
Harga Tongkang Rp. 32,-
( Rp.32,- Dalam Dam)
( Rp.36,- Luar Dam )

Kantor cabang(Pelni) melakukan permohonan dan pembayaran/penebusan bunker adalah 1 hari sebelumnya. Setelah kapal tiba maka realisasi pengisian bahan bakar bisa dilaksanakan, dengan dibawah pengawasan pihak kapal (KKM/Masinis), pihak Kantor cabang (Pelni Cabang bagian Armada dan Operasi)
Dan pihak Tongkang Pertamina . Sebelum pengisian pihak – pihak ini melakukan pengecekan/sounding tangki minyak kapal dan Tongkang Minyak Pertamina. Setelah adanya kroscek tersebut, maka dilaksanakan pengisian bahan bakar dengan diukur oleh flow meter kapal dan flow meter tongkang. Setelah selesai semua pihak Tongkang Pertamina memberikan resi bukti pengisian yang ditanda tangani oleh KKM dan Nakhoda tanda minyak telah diterima.

SUBSTANSI MATERI POKOK YANG PERLU DIATUR DALAM RUU TENTANG PELAYARAN

  1. Substansi materi dari RUU Pelayaran tidak berbeda dengan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, karena RUU Pelayaran direvisi hanya dengan mempertimbangkan UU tentang Otonomi Daerah. Namun, perumusannya tidak tepat dan tidak normatif.
  1. Kepelabuhanan
    1. Hierarki Pelabuhan
    2. Hierarki pelabuhan dikaitkan dengan kewenangan pemberian perijinan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga terdapat :
      1. Pelabuhan Internasional/Nasional/Hub yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Pusat;
      2. Pelabuhan Regional yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Propinsi; dan
      3. Pelabuhan Lokal yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
      Di dalam RUU Pelayaran usulan Pemerintah cq. Departemen Perhubungan, pelabuhan lokal hanya untuk melayani angkutan laut dalam Kabupaten/Kota, sementara pelabuhan regional hanya melayani angkutan laut dalam propinsi serta pelabuhan internasional/nasional/hub untuk melayani angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri.
      Secara normatif hierarki yang diusulkan oleh Pemerintah cq Departemen Perhubungan tidak tepat karena :
      1. Pelabuhan ditentukan oleh fasilitas dan aktivitas dimana pasar akan sangat berperan;
      2. Kondisi geografis Indonesia tidak bisa ditata dengan konsep yang diusulkan oleh Pemerintah karena setiap daerah mempunyai keunggulan komparatif yang berbeda. Oleh karena itu, lebih tepat apabila hierarki pelabuhan terdiri dari pelabuhan hub, pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan, dan perijinan pembangunan sampai dengan pengoperasian pelabuhan diberikan oleh Pemerintah Pusat cq. Menteri Perhubungan dengan rekomendasi Gubernur dan Bupati/Walikota;
      3. Penggolongan pelabuhan terlalu banyak yang terdiri dari :
        1. Pelabuhan Laut Umum yang diusahakan;
        2. Pelabuhan Laut Umum yang tidak diusahakan;
        3. Pelabuhan Khusus;
        4. Pelabuhan Perikanan;
        5. Pelabuhan Penyeberangan (RO-RO);
        6. Pelabuhan Daratan (dry port);
        7. dan lain – lain
        8. Seharusnya penggolongan pelabuhan terbagi menjadi pelabuhan utama yang berfungsi sebagai hub, pelabuhan pengumpul (collector port) dan pelabuhan pengumpan (feeder port) dimana didalam pelabuhan terdapat berbagai terminal (RO-RO, terminal kendaraan, terminal penumpang, terminal multipurpose, terminal petikemas,.....dll). Sementara untuk pelabuhan perikanan, pangkalan angkatan laut dan pangkalan KPLP disebut pangkalan karena modus pergerakan kapal yang terdaftar setelah menyelesaikan kegiatan akan kembali ke lokasi yang sama (dalam bahasa inggris dikenal naval base, fishing fleet base, coastguard base). Untuk pelabuhan khusus diusulkan menjadi terminal khusus yang berada di bawah pengawasan pelabuhan umum (hub/pengumpul/pengumpan) terdekat
    3. Institusi di Pelabuhan
    4. Sebagaimana diketahui bahwa pelabuhan merupakan infrastruktur yang mempunyai fungsi fasilitas publik, oleh karena itu harus diselenggarakan oleh Pemerintah.
      1. Prinsip-prinsip pembenahan institusi di pelabuhan adalah sebagai berikut :
        Perlu adanya pemisahan yang tegas antara fungsi pemerintahan (regulator dan fasilitator) dengan fungsi pengusahaan (operator) yang dibedakan menjadi :
        1. Regulator dan Fasilitator menjalankan fungsi penyelenggara pelabuhan dilakukan oleh Pemerintah dalam institusi Otorita Pelabuhan yang didalamnya terdiri dari wakil Pemerintah Pusat, wakil Pemerintah Propinsi, wakil Pemerintah Kabupaten/Kota, Stakeholders, para ahli di bidang yang berhubungan dengan Pelabuhan, pakar kebijakan dan pakar hukum serta profesional. Dalam pelaksanaan tugasnya Otorita Pelabuhan mendapatkan pengawasan dari Dewan Pelabuhan yang anggotanya merupakan wakil-wakil dari Pemerintah.
        2. Regulator dan Fasilitator menjalankan fungsi pengawasan dan terlaksananya seluruh aturan baik nasional maupun internasional yang telah diratifikasi dalam Bidang Keselamatan dan Keamanan oleh institusi Kesyahbandaran. Syahbandar merupakan kuasa dari Undang-Undang terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan maritim.
        3. Operator menjalankan fungsi pengusahaan terminal dan fasilitas jasa pelabuhan lainnya sesuai dengan ijin usahanya. Operator Terminal dan Operator Jasa Fasilitas Pelabuhan lainnya merupakan institusi yang berorientasi pada profit. Secara normatif penyelenggara pelabuhan bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kelestarian infrastruktur, sedangkan pengusahaan pelabuhan yang terdiri dari berbagai kegiatan (operator) bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kesinambungan suprastruktur pelabuhan.
        4. Konsepsi pemisahan peran dan fungsi regulator/fasilitator dengan operator masih belum tergambar secara jelas dan nampaknya Pemerintah masih mengayomi peran PT. Pelindo sebagai Regulator/Fasilitator dan Operator. Oleh karena itu perlu diatur secara jelas bahwa peran sebagai Regulator/Fasilitator dilaksanakan oleh Pemerintah yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota) secara konkuren sebagai Penyelenggara Pelabuhan dan peran sebagai Operator dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia (BHI) yang terdiri dari BUMN, BUMD dan BUMS. Hal ini telah diamanahkan secara gamblang dalam Inpres No. 5 tahun 2005 dan telah di tuangkan dalam roadmap penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri oleh Departemen Perhubungan.
      2. Fungsi pemerintahan di pelabuhan (regulator dan fasilitator) terdiri dari :
        1. Otorita Pelabuhan mempunyai kewajiban pokok antara lain :
          1. merencanakan, menyediakan, memelihara dan mengembangkan infrastruktur kepelabuhanan;
          2. merencanakan dan mengatur peruntukan lokasi kegiatan-kegiatan usaha sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan, fasilitas-fasilitas pendukung di luar pelabuhan termasuk menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial kebutuhan masyarakat di pelabuhan ;
          3. merencanakan dan menyusun area fasilitas pendukung kegiatan pelabuhan;
          4. menyediakan fasilitas pengelolaan limbah, sarana penanggulangan kebakaran, tumpahan minyak dan penanganan kondisi darurat di pelabuhan yang dapat menjamin kelestarian dan keselamatan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
          5. melaksanakan koordinasi kerja dengan semua pihak terkait untuk ketertiban, keamanan dan kelancaran pelayanan pelabuhan;
          6. melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki di pelabuhan; memelihara kedalaman kolam pelabuhan untuk keselamatan pelayaran.
            Sebagai catatan :
          1. Peran dan fungsi dari Administrator Pelabuhan tidak dihapus, akan tetapi Administrator Pelabuhan menjadi bagian dari Otorita Pelabuhan (melebur).
          2. Pelindo seperti juga Adpel tidak perlu khawatir akan kehilangan assetnya, karena Pelindo beserta seluruh asset dan SDMnya menjadi Operator Terminal dan Operator Jasa Faslitas Pelabuhan lainnya sesuai dengan asset yang telah dipunyai.
          3. Pelindo dengan pengalamannya, dapat menjadi Operator Terminal dan Operator Jasa Fasilitas Pelabuhan yang handal. Perubahan yang diusulkan adalah agar supaya peran dan fungsi regulator dan fasilitator dikeluarkan dari Pelindo dan dikembalikan kepada Pemerintah karena pada dasarnya Pelindo sudah menjadi Badan Hukum Indonesia berupa Perseroan Terbatas (PT) yang secara hukumnya harus mengikuti peraturan dan kebijakan dari UU tentang Perseroan Terbatas (PT).
        2. Syahbandar yang mempunyai kewajiban :
          1. sebagai kepala pemerintahan dan sebagai koordinator fungsi-fungsi pemerintahan di pelabuhan
          2. menyelesaikan hambatan-hambatan teknis yang terjadi di pelabuhan;
          3. sebagai penyidik atas pelanggaran dan/atau tindak pidana di pelabuhan serta melakukan penahanan terhadap kapal di pelabuhan atas perintah pengadilan;
          4. mengeluarkan ijin kegiatan di fasilitas pelabuhan dan terminal serta mengeluarkan Surat Ijin Berlayar (SIB);
          5. melaksanakan pendaftaran kapal, pengesahan perjanjian kerja laut, sijil awak kapal dan legalisasi jurnal (log book) kapal
          6. menyusun sistem dan prosedur Port Clearance in/out
          7. melaksanakan pengawasan, penertiban dan penegakan hukum di pelabuhan
          8. membina keselamatan dan keamanan sesuai hukum Nasional dan Internasional yang berlaku;
          9. mengendalikan penanganan musibah di pelabuhan dan di sekitar perairan pelabuhan;
          10. melaksanakan investigasi kecelakaan-kecelakaan di pelabuhan;
          11. melaksanakan fungsi pengawasan negara pelabuhan sesuai konvensi-konvensi Internasional yang berlaku dipelabuhan;
          12. menyelenggarakan sistem informasi lalulintas kapal
          13. sebagai superintenden pandu
          14. melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di pelabuhan serta melakukan pungutan atas pelayanan jasa kepelabuhanan sebagai pendapatan negara bukan pajak.
        3. Bea Cukai;
        4. Imigrasi; dan
        5. Karantina.
          Tugas pokok, wewenang dan fungsi instansi Bea cukai, Imigrasi dan Karantina dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kompetensi di bidang masing- masing.
      3. Fungsi Pengusahaan
        Nampaknya Pemerintah tetap mempertahankan PT. Pelindo, yang saat ini merangkap sebagai fungsi penyelenggara dan pengusahaan pelabuhan dalam arti berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan operator. Sedangkan dalam Inpres No. 5 tahun 2005 secara jelas dan gamblang mengamanahkan bahwa fungsi pemerintahan yaitu regulator dan fasilitator menjadi tugas pemerintah sedangkan fungsi pengusahaan menjadi tugas dari operator yang dapat bebentuk BUMN, BUMD, BUMS, Koperasi dan Perorangan.

      4. Saat ini terjadinya tumpang tindih kewenangan kepemerintahan di pelabuhan antara Adpel dan PT. Pelindo. Siapa regulator dan siapa operator menjadi tidak jelas, bahkan pengusahaan fasilitas pelabuhan cenderung mengarah monopolistik dari BUMN Pelabuhan yaitu PT. Pelindo. Selain simpang siur dalam operasional di Pelabuhan, tumpang tindih juga mengakibatkan operasional biaya tinggi di pelabuhan karena siapa saja bisa masuk pelabuhan asal bisa bayar. Hal ini dapat membahayakan keamanan karena kegiatan di Lini 1 pelabuhan merupakan daerah terbatas (restricted area) sebagaimana diatur dalam International Safety Port and Ship Security (ISPS) Code 2002.
        Dalam konsep RUU dari Pemerintah dibuka kesempatan kepada swasta untuk menjadi penyelenggara pelabuhan (Pasal 43). Hal ini sangat berbahaya karena apabila swasta dapat menjadi penyelenggara pelabuhan akan masuk penetrasi negara asing sehingga fasilitas pelabuhan yang seharusnya merupakan fasilitas publik menjadi dikuasai oleh negara asing. Dengan demikian, maka akan terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Contoh : Indosat. Oleh karena itu, diusulkan swasta hanya dimungkinkan melakukan investasi untuk menjadi operator terminal atau operator fasilitas pelabuhan lainnya dengan cara built operate transfer (BOT) untuk jangka panjang. Sebagaimana diketahui bahwa terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya merupakan bagian dari pelabuhan. Sementara itu, penyelenggara pelabuhan tetap dilakukan oleh Pemerintah cq. Otorita Pelabuhan yang terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) secara konkuren.
  2. Angkutan Laut
    1. Implementasi Asas Cabotage
      Asas cabotage adalah hak dari negara untuk mengangkut muatan dalam negeri dengan menggunakan armada berbendera negara yang bersangkutan dan awak kapal yang berkewarganegaraan negara tersebut. Asas cabotage merupakan kewenangan dari negara yang bersangkutan dan tidak bertentangan dengan WTO. Implementasi dari asas cabotage secara tidak langsung akan mendukung sistem akumulasi dan distribusi khususnya untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

      Permasalahan utama adalah tidak mencukupinya armada angkutan laut nasional untuk bersaing setara dengan angkutan laut asing, yang mengakibatkan sebagian besar muatan angkutan laut dalam negeri diangkut oleh kapal berbendera asing. Muncul potensi gangguan terhadap kedaulatan negara karena azas cabotage tidak dapat dilaksanakan. Dalam RUU tentang Pelayaran implementasi asas cabotage diatur secara normatif dengan tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran oleh semua pihak (regulator, operator dan pengguna jasa) terkait dalam penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri. Secara nyata selama ini pihak terkait tidak mempunyai program yang dijalankan secara konsekuen walaupun ada roadmap dan aturan – aturan yang mengharuskan pengutamaan penggunaan kapal – kapal nasional yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional untuk muatan dalam negeri khususnya milik BUMN (contoh : beras, batubara, migas dan lain – lain).

    2. Penyelenggaraan Trayek Tetap dan Teratur Pelayaran Dalam Negeri
      Sebagaimana diketahui bahwa sejak dilaksanakannya deregulasi dan debirokratisasi melalui Inpres No. 4 tahun 1985 dan Paket November 1988, penyelenggaraan trayek tetap dan teratur (liner) dan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper) sepenuhnya diserahkan kepada Perusahaan Pelayaran baik secara sendiri – sendiri maupun secara bersama – sama.

      Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri dari 17.508 pulau, setiap titik simpul dari pulau – pulau yang ada harus dapat dikunjungi secara tetap dan teratur sebagai perwujudan dari wawasan nusantara. Disamping untuk kepentingan distribusi dan akumulasi, juga untuk terjaminnya ketahanan pangan dan ketahanan nasional (IPOLEKSOSBUD HANKAMNAS). Oleh karena itu, pengaturan penyelenggara trayek tetap dan teratur dan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur tidak dapat dilepaskan kepada perusahaan - perusahaan pelayaran saja. Hal ini akan merugikan negara karena terdapat titik – titik simpul yang tidak dikunjungi secara tetap dan teratur oleh armada pelayaran nasional, sehingga bertentangan dengan konsepsi pembangunan nasional berwawaskan nusantara dan potensi pengaruh asing akan semakin dominan .

      Dalam konsep RUU tentang Pelayaran hal-hal mengenai trayek tidak diatur secara jelas. Oleh karena itu, kami mengusulkan pengaturan penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri khususnya trayek tetap dan teratur yang diselenggarakan dengan sistem paket pelayaran nusantara. Dalam paket pelayaran nusantara ini, BUMN pelayaran yang selama ini sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pelayaran tetap dan teratur ditunjuk sebagai koordinator dari perusahaan – perusahaan pelayaran nasional dengan supervisi dari pemerintah. Pemerintah menetapkan jaringan trayek lengkap dengan kode trayeknya, frekuensi kunjungan kapal dan tarif angkutan. Koordinator paket pelayaran nusantara menempatkan kapal dalam setiap kode trayek dan dilaksanakan kontrak pelayanan tratek tetap dan teratur antara pemerintah dengan koordinator paket pelayaran nusantara.

      Dengan kepastian adanya jaminan muatan dari setiap trayek yang dilayani oleh perusahaan pelayaran maka perusahaan pelayaran dapat mengupayakan kredit dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Dalam penyelenggaraan trayek pelayaran tetap dan teratur diperlukan ketepatan waktu dan jaminan kapal untuk dapat bersandar di dermaga. Oleh karena itu, perusahaan pelayaran yang menyelenggarakan pelayaran trayek tetap dan teratur di prioritaskan untuk menjadi operator terminal di pelabuhan.

    3. Penyelenggaraan Angkutan Luar Negeri
      Dalam penyelenggaraan angkutan laut luar negeri posisi saat ini lebih memprihatinkan dari angkutan laut dalam negeri karena saat ini share muatan yang diangkut oleh armada nasional ± 5%. Hal ini mengakibatkan defisit transaksi jasa pada neraca transaksi berjalan dalam neraca pembayaran nasional. Masalah ini sudah teridentifikasi sejak lama, namun upaya penyelesaian tidak menyeluruh, sehingga menjadi berlarut-larut.

      Saat ini per tahunnya, Indonesia mempunyai ekspor rata-rata sebanyak 5.000.000 boks. Karena Indonesia hanya mempunyai armada yang sangat kecil, maka trayek kapal dikendalikan perusahaan asing yang berakibat perusahaan Indonesia kehilangan kesempatan mengangkut. Potensi hilangnya devisa yang diakibatkan penggunaan pelayaran asing rata-rata US$ 10 Milyar per-tahun (US$ 2.000 per boks). Selain itu karena tidak adanya pelabuhan hub (laut dalam) di Indonesia maka setiap eksport melalui laut harus melalui (transit) di Singapura dengan biaya transit ± US$ 7 Milyar per tahun.

      Sampai dengan tahun 1985 share muatan ekspor/impor Indonesia dapat mencapai ± 38%. Akan tetapi, dengan adanya kesalahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengakibatkan share muatan luar negeri turun secara drastis sampai dengan 3% dan dalam 3 (tiga) tahun terakhir share muatan luar negeri mulai membaik hingga mencapai ± 5%. Mengingat rendahnya share muatan untuk angkutan laut luar negeri maka dalam RUU perlu diatur sebagai acuan untuk aturan dibawahnya hal – hal yang berhubungan dengan program peningkatan share muatan secara bertahap sehingga dapat mencapai share muatan yang wajar (fair share).

    4. Pengembangan Armada
      Industri Pelayaran Nasional mempunyai ciri khusus yaitu capital intensive, slow yielding dan high risk. Oleh karena itu, industri pelayaran nasional perlu mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana negara – negara lain yang menerapkan kebijakan dalam bentuk maritime subsidies (Amerika, Jepang, Belanda, Singapura, Korea, Cina, Jerman dan lain – lain). Perhatian yang tinggi terhadap industri pelayaran nasional oleh negara – negara bersangkutan dikarenakan kapal yang digunakan dalam industri pelayaran menggunakan bendera negara (flag state) yang menggambarkan kedaulatan dari suatu negara. Oleh sebab itu, penanganann dari industri pelayaran tidak dapat disamakan dengan industri moda transportasi lainnya dan sektor lainya.

      Selain itu pelayaran nasional seharusnya merupakan infrastruktur ekonomi yang saat ini tidak dikelola dengan baik dan bahkan berada dalam tingkat yang dapat mengancam keberadaan sektor ini secara strategis. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pangsa pasar yang dikuasai oleh sektor ini baik untuk pelayaran dalam negeri dan luar negeri.

      Di samping itu, berbagai kebijakan justru makin memperlemah sektor ini. Untuk dapat mengatasi lemahnya industri pelayaran nasional perlu dilakukan penajaman terhadap visi, strategi dan rencana secara terpadu. Industri Pelayaran / Angkutan Laut Nasional yang kuat haruslah memberikan peran dan kemandirian bagi bangsa Indonesia dalam mengelola secara maksimal industri tersebut, yang dalam hal ini meliputi industri jasa pelayaran, jasa kepelabuhanan, industri galangan kapal dan industri-industri pendukung.

      Majunya indrustri pelayaran nasional dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara dan pembangunan, serta mempunyai potensi multiplier effect yang besar dan luas. Oleh karena itu Pemerintah berkewajiban untuk membangun industri pelayaran nasional melalui pengembangan armada dengan cara antara lain :
      1. pinjaman lunak dan dalam jangka waktu yang panjang kepada perusahaan pelayaran nasional dan industri jasa maritim lainnya;
      2. pembebasan PPn dalam pembangunan kapal, pembelian sukucadang kapal, uang tambang dan uang jasa pelabuhan
      3. pembebasan PPh perorangan bagi nakhoda dan awak kapal
      4. penyusutan progresif dan dipercepat
      5. rabat investasi pengembangan kapal
      6. pembebasan pajak penjualan kapal untuk investasi peremajaan armada niaga nasional; dan
      7. subsidi dalam pengadaan kapal.

  3. Penegakan Hukum
    Selama ini penegakan hukum atas ditaatinya UU tentang pelayaran masih carut marut karena dilaksanakan oleh multi instansi (TNI – AL, Pol. Airud, KP3-Polisi, KPLP-Dephub, Bea Cukai, PNS Perikanan) tanpa adanya kejelasan mengenai hak dan kewenangannya. Dalam RUU tentang Pelayaran pengaturan penegakan hukum tidak ada perubahan, selain masih bersifat mengambang juga dilaksanakan oleh multi instansi.

    1. Perlu diketahui bahwa Penegakan Hukum atas UU Pelayaran merupakan lex specialist yang mempunyai karakteristik tersendiri yaitu :
      1. Penegakan hukum di laut dan pantai (coastal state) dilakukan oleh Komandan atau Nakhoda TNI – AL dan Komandan atau Nakhoda kapal – kapal negara dengan SOP yang mengacu kepada konvensi internasional yang berlaku.
      2. Penegakan hukum di kapal dilakukan oleh Nakhoda kapal yang bersangkutan (flag state).
      3. Penegakan hukum di pelabuhan dikoordinasikan oleh Syahbandar (port state) dan selanjutnya oleh Syahbandar di serahkan kepada masing – masing instansi sesuai dengan bidang kewenangan dari masing – masing instansi sebagai berikut :
        1. menyangkut keselamatan dan keamanan maritim dilakukan oleh Syahbandar;
        2. menyangkut kepabeanan dilakukan oleh Bea & Cukai;
        3. menyangkut keimigrasian dilakukan oleh Imigrasi;
        4. menyangkut karantina dan kesehatan dilakukan oleh Karantina Hewan, Tumbuh-tumbuhan, Ikan dan Kesehatan;
        5. menyangkut tindak pidana umum diserahkan kepada POLRI.

  4. Keselamatan dan Keamanan Maritim
    1. Pengaturan masalah keselamatan dan keamanan dalam RUU ini sudah lebih baik, namun dirasakan masih belum lengkap. Oleh karena itu perlu diatur lebih rinci agar dapat memajukan sistem keselamatan maritim yang meliputi antara lain kelautan, perlindungan lingkungan dan penegakan hukum maritim.
    2. Revisi UU Pelayaran ini merupakan momentum yang tepat untuk memposisikan sistem keselamatan dan keamanan maritim sesuai dengan fungsi dan tempatnya. Fungsi pemerintahan yang perlu diatur meliputi :
      1. Keselamatan dan Keamanan Kapal Niaga
      2. Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan
      3. Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
      4. SAR Maritim
      5. Perlindungan Lingkungan Maritim
      6. Penegakan Hukum Maritim, sebagaimana tertuang dalam huruf C

  5. Konvensi Internasional
    Untuk angkutan laut, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan maritim terdapat aturan internasional berupa konvensi – konvensi baik yang sudah maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Beberapa konvensi internasional yang telah di ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) tetapi belum diatur dalam sistem perundang – undangan nasional. Oleh sebab itu substansi materi konvensi yang relevan perlu dimasukkan dalam RUU tentang Pelayaran, antara lain :
      1. Liens and Mortgage 1993 yang telah diratifikasi pada tahun 2004;
      2. ISM Code 2000 sebagai amandemen dari SOLAS 1974 yang telah diratifikasi tahun 1985;
      3. ISPS Code 2002 sebagai amandemen dari SOLAS 1974 yang telah diratifikasi tahun 1985;
      4. STCW 1978 yang telah diratifikasi tahun 1986;
      5. Sebagian dari MARPOL 1973/1978 yang telah diratifikasi tahun 1986;
    1. Ada beberapa konvensi yang seharusnya telah diratifikasi untuk kepentingan kelancaran pelayaran di Indonesia antara lain Arrest of Ship, Hague Rules, Hamburg Rules, Multimoda Transpor, Safe Container, Maritime Safe and Rescue, Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matters dan lain - lain.

  6. Pengaturan Tentang Norma, Pedoman, Standar dan Kriteria
    Penyusunan RUU tentang Pelayaran masih menganut sistem yang lama yaitu aturan – aturan pokok yang diatur dalam UU yang dilengkapi dengan aturan pelaksanaan melalui Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Hal ini mengakibatkan UU walaupun telah diundangkan tidak dapat segera dioperasional karena harus menunggu aturan pelaksanaan. Pengalaman pada masa lalu pembuatan aturan pelaksanaan memerlukan waktu 5 – 10 tahun sehingga pasal – pasal dalam UU hanya bersifat cheque kosong (tidak dapat diimplementasikan).

    Di usulkan agar peraturan – peraturan pemerintah dan aturan pelaksanaan lainnya yang bersifat penting diangkat ke tingkat UU sehingga aturan pelaksanaan hanya berisikan norma, pedoman, standar dan kriteria. Hal ini juga untuk mempermudah implementasi dari UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dimana banyak hal yang bersangkutan dengan transportasi telah di dekonsentrasikan dan di desentralisasikan ke daerah. Dengan demikian aturan pelaksanaan dari UU tentang Pelayaran cukup diatur dalam 3 (tiga) Peraturan Pemerintah yang berisikan norma, pedoman, standar dan kriteria di bidang:
    1. Angkutan Laut;
    2. Kepelabuhanan; dan
    3. Keselamatan dan Keamanan Maritim
    1. Dalam rangka implementasi good governance diusulkan adanya lembaga baru yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas kebijakan publik. Kelembagaan baru ini dapat dituangkan dalam aturan pelaksana berupa Peraturan Presiden.

  7. Pembentukan Badan baru tentang Penjagaan/Pengawal Laut dan Pantai

    Penegakan hukum terhadap peraturan – perauran dibidang kemaritiman (termasuk Undang – Undang Pelayaran) yang masih carut marut karena dilaksanakan oleh multi instansi perlu ditata kembali dalam 1 (satu) wadah yang tidak bersifat koordinatif. Semua unsur – unsur penegakan hukum yang selama ini ada, yang dikoordinasikan oleh Bakorkamla yaitu Guskamla, Pol Airud, KPLP, Bea Cukai, PNS dari DKP dan lain – lain perlu dilebur menjadi Badan Tunggal yaitu Badan Penjagaan/Pengawal Laut dan Pantai. Karena hal ini menyangkut beberapa Undang – Undang, maka seyogyanya perlu diatur dalam peraturan perundang – undangan tersendiri.

FAKTUR PAJAK

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak ?

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena impor BKP.

Ada berapa jenis Faktur Pajak menurut UU PPN ?

Terdapat 3 (tiga) jenis Faktur Pajak menurut UU PPN, yaitu:
1. FP Standar, termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar;
2. FP Gabungan dan;
3. FP Sederhana.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak standard, bagaimana bentuk dan ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

1. Adalah Faktur Pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Kep. Dirjen. Pajak No. Kep-53/PJ./1994 tanggal 29 Desember 1994, yang wajib dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP pada atau setelah tanggal 1 Januari 1995.
2. Bentuk Faktur Pajak Standar dibuat dengan ukuran kuarto yang isinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (SK. Dirjen Pajak No. Kep-53/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994).
3. Faktur Pajak Standar harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu :
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan.
Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.
4. Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka peruntukan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam Faktur Pajak yang bersangkutan; misalnya :
Lembar ke-3 : Untuk KPP dalam hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada Pemungut PPN.

Syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi Faktur Pajak Standar?

Faktur Pajak Standar harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat keterangan:
1. Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP;
2. Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
3. PPN yang dipungut;
4. PPnBM? yang dipungut;
5. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP; dan
6. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak.
Adapun yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai dengan keterangan yang tercantum pada Faktur Pajak.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak gabungan, bagaimana bentuk dan ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

Adalah Faktur Pajak Standar yang cara penggunaannya diperkenankan kepada PKP atas beberapa kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama yang dilakukan dalam satu Masa Pajak, dan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP/ JKP.
Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP/ JKP atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat Faktur Pajak tersendiri pada saat diterima pembayaran.
Tanggal penyerahan/ pembayaran pada Faktur Pajak diisi dengan tanggal awal penyerahan BKP/ JKP sampai dengan tanggal terakhir dari Masa Pajak yang dibuatkan Faktur Pajak Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan dari masing-masing Faktur Penjualan.

Apa yang dimaksud dengan faktur pajak sederhana, bagaimana bentuk dan ketentuan apa saja yang berkaitan dengannya ?

1. Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan Faktur Pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap atau penyerahan BKP/JKP secara langsung kepada konsumen akhir.
2. Pembeli BKP/penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, misalnya: pembeli yang tidak diketahui NPWP-nya atau tidak diketahui nama dan atau alamat lengkapnya.
3. Faktur Pajak Sederhana sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Nama, alamat usaha, NPWP serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
b. Macam, jenis dan kuantum dari BKP atau JKP.
c. Jumlah harga jual atau peggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah.
d. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
4. Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, Faktur Penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP oleh PKP yang bersangkutan.
5. Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap bukan merupakan Faktur Pajak Sederhana.
6. Faktur Pajak Sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua :
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP/ penerima JKP
Lembar ke-2 : Untuk arsip PKP yang bersangkutan.
7. Faktur Pajak Sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau lebih,dalam hal Faktur Pajak Sederhana tersebut dibuat dalam satu lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong, seperti yang terjadi pada karcis.
8. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan.

Dokumen-dokumen apa yang dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar ?

Dokumen-dokumen tertentu dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sepanjang dokumen tersebut memuat sekurang-kurangnya :
Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen;
Nama, alamat, NPWP penerima dokumen;
Jumlah satuan;
Dasar Pengenaan Pajak;
Jumlah pajak terutang.

Dokumen-dokumen tersebut adalah :

PIB yang dilampiri SSP dan atau bukti pungutan pajak oleh Dirjen Bea dan Cukai untuk impor BKP;
PEB yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Dirjen Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan oleh BULOG/ DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
Ticket, Tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
SSP untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean;
Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhan;
Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.

Kapan saat pembuatan faktur pajak ?

1. Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya :
Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP.
Pada saat pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN.
2. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/ atau JKP.
3. Faktur Pajak Sederhana
Harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan/atau JKP
Pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP.

Bagaimana tata cara penggantian/pembetulan faktur pajak standard ?

1. Penggantian Faktur Pajak Standar yang hilang
PKP pembeli mengajukan permohonan tertulis kepada PKP penjual dengan tindasan kepada Kepala KPP tempat PKP pembeli dan PKP penjual dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan permohonan tertulis dari PKP pembeli, PKP penjual membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar yang disimpan untuk dilegalisir oleh KPP tempat PKP penjual dikukuhkan.
Copy dibuat rangkap 2 (dua) yaitu :
1. Lembar ke-1 : Diserahkan ke PKP pembeli melalui PKP penjual, sebagai pengganti Faktur Pajak yang hilang.
2. Lembar ke-2 : arsip
Legalisir diberikan oleh KPP tempat PKP penjual dikukuhkan setelah meneliti SPT Masa PPN dari PKP penjual tersebut.
KPP tempat PKP pembeli dikukuhkan, wajib melakukan penelitian atas SPT Masa PPN dari PKP pembeli, apakah Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan atau belum.
2. Pembetulan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam pengisian/ penulisan.
Dapat diganti dengan cara PKP penjual membuat Faktur Pajak Standar sebagai pengganti.
Tidak diperkenankan dengan cara menghapus atau mencoret atau dengan cara lain.
Penerbitan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan seperti halnya Faktur Pajak Standar biasa.
Faktur Pajak Standar pengganti diisi berdasarkan keterangan yang seharusnya dan dilampiri dengan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau salah dalam penulisan/pengisian tersebut.
Faktur Pajak Standar pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan nomor seri, kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut.
Faktur Pajak Standar pengganti dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang diganti.
Penerbitan Faktur Pajak Standar pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk membetulkan SPT Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak Standar tersebut.

Apabila Faktur Pajak yang dibuat/ diterbitkan tidak tepat waktu, apakah masih merupakan Faktur Pajak dan apakah sanksinya?
Faktur Pajak yang diterbitkan sebelum melewati 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya batas waktu penerbitan Faktur Pajak (KepDirjen? Nomor-KEP-549/PJ./2000), dianggap sebagai Faktur Pajak Standar.
Faktur Pajak yang diterbitkan setelah melewati batas waktu tersebut di atas tidak dapat dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan demikian, bagi PKP yang menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan PPN yang dibayarnya sebagai Pajak Masukan
PKP yang menerbitkan Faktur Pajak terlambat dikenakan sanksi 2% dari DPP.

Apakah yang dimaksud dengan Nota Retur?

Nota Retur adalah Nota yang dibuat oleh penerima BKP karena adanya pengembalian atas BKP yang telah dibeli/ diterimanya. Dengan adanya Nota Retur tersebut maka PKP penjual dapat mengurangkan PPN dan PPn? BM (PK) atas penyerahan BKP yang dikembalikan, sedangkan bagi PKP pembeli harus mengurangkan PPN dan PPnBM? (PM) yang telah dikreditkan atau biaya, dan harta. Nota Retur diterbitkan dan dilaporkan baik oleh PKP penjual maupun PKP pembeli pada Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut.
Nota Retur sekurang-kurangnya hrs mencantumkan:
1. Nomor urut;
2. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan;
3. Nama, alamat, dan NPWP pembeli;
4. Nama, alamat, dan NPWP yang menerbitkan Faktur Pajak;
5. Jenis barang dan harga jual BKP yang dikembalikan;
6. PPN atas BKP yang dikembalikan;
7. PPnBM? atas BKP yang tergolong mewah yang dikembalikan;
8. Tanggal pembuatan Nota Retur;
9. Tanda tangan pembeli.
Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan-keterangan di atas maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur, sehingga tidak dapat mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan atau biaya, dan harta bagi pembeli.
Dalam hal pengembalian BKP terjadi masih dalam Masa Pajak yang sama dengan terjadinya penyerahan BKP tersebut, tidak perlu dibuatkan Nota Retur, melainkan dapat dilakukan dengan pembatalan atau perbaikan Faktur Pajak atas penyerahan BKP tersebut.

PPN atas Pemakaian Sendiri 27 Juli 2009

Posted by ignatiusedy in Pajak Pertambahan Nilai.
add a comment

Pemakaian Sendiri – tujuan produktif : bukan objek PPN
Pemakaian Sendiri – tujuan konsumtif : objek PPN – PK saja namun PM nya tidak dapat dikreditkan karena tidak ada hubungan dengan usaha (B4)

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 87/PJ./2002

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. Bahwa dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 diatur antara lain bahwa Dasar Pengenaan Pajak untuk pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b. bahwa untuk kepastian hukum dan kelancaran pelaksanaan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4061);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ/2000 tentang Syarat-Syarat Faktur Pajak Sederhana sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-425/PJ/2001);
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-323/PJ/2001.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN ATAU JASA KENA PAJAK.
Pasal 1
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif.
2. Pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak adalah pemakaian untuk kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan produktif.
3. Pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak adalah pemberian yang diberikan tanpa imbalan pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, termasuk pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
4. Pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak adalah pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan kepada pihak lain tanpa imbalan pembayaran.
5. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan.
6. Barang Kena Pajak adalah meliputi produk utama, produk sampingan, dan limbah.
7. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
8. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Pasal 2
Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 3

(1)
Atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.
(2)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dibayar sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
(3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Keluaran.
(4)
Dalam Faktur Pajak identitas Pengusaha Kena Pajak dan Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak adalah sama yaitu Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
(5)
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

Pasal 4

(1)
Atas pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak baik yang dilakukan secara tersendiri atau menyatu dengan barang yang dijual terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.
(2)
Atas pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan harus diterbitkan Faktur Pajak.
(3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang harus dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersanguktan.
(4)
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar merupakan Pajak Keluaran.
(5)
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

Pasal 5

(1)
Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak produksi sendiri yang tergolong mewah, juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak dan dicantumkan dalam Faktur Pajak yang diterbitkan.
(3)
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Harga Jual setelah dikurangi laba kotor.

Pasal 6
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Pebruari 2002
DIREKTUR JENDERAL

ttd

HADI POERNOMO

Definisi Pajak Pertambahan Nilai 26 Juli 2009

Posted by ignatiusedy in Pajak Pertambahan Nilai.
add a comment

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Karakteristik

  • Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
  • Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
  • Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
  • Menghindari pengenaan pajak berganda.
  • Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

Perkecualian

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

Barang tidak kena PPN

  • Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
  1. Minyak mentah.
  2. Gas bumi.
  3. Panas bumi.
  4. Pasir dan kerikil.
  5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
  6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
  • Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
  • Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
  1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
  2. Gilingan.
  3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
  4. Beras pecah.
  5. Menir (groats) beras.
  • Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
  1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
  2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
  3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
  1. Empulur sagu.
  2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
  • Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
  • Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
  1. Garam meja.
  2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.

Jasa tidak kena PPN

  • Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
  1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
  2. Jasa dokter hewan.
  3. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
  4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
  5. Jasa paramedis dan perawat.
  6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
  • Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
  1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
  2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
  3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
  4. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
  5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
  6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
  7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
  • Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
  1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
  2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
  3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
  1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
  2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
  3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
  • Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
  1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
  2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
  • Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
  • Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
  • Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
  1. Jasa tenaga kerja.
  2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
  3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
  • Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
  1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
  2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

INTENSIFIKASI PPN DARI VOYAGE CHARTER, SPOT AND SHORT TERM CHARTER

Semakin tingginya permintaan dunia atas kebutuhan energy dan mineral mengakibatkan para pelaku-pelaku industry oil, gas & mineral berlomba-lomba meningkatkan produksinya. Selanjutnya sejalan dengan perkembangan industry energy ini, dengan meningkatnya produksi migas dan mineral khususnya batubara maka diperlukan media transhipper/energy shipping (tanker) yang memadai. Pengoperasian tanker konvensional biasanya para operator mejalankan bisnisnya dengan mengadakan suatu kontrak persewaan tanker baik fully manned basis maupun bareboat dalam suatu periode waktu tertentu. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi dan kemampuan angkut tanker-tanker ini maka perusahaan ‘energy shipping’ ini mengembangkan pola pelayanannya melalui suatu pengoperasian tanker yang spesifik mengangkut migas dan/atau mineral melalui suatu jalur-jalur operasi tertentu baik melalui wilayah mediteranian gulf maupun melalui atlantic basin dengan pola voyage charter (menyewakan sebagian atau seluruh ruangan muatan untuk satu perjalanan). Fleet mereka bukan hanya puluhan tetapi ratusan tanker dan ukurannya juga bervariasi, dari handy carriers, panamax, aframax, suezmax, VLCC bahkan ULCC. Pola bisnisnya adalah, principal kapal ini mempunyai representative di beberap wilayah strategis, selanjutnya sesuai ketentuan domestic setempat misalnya di Indonesia, mengikuti ketentuan Undang-Undang Pelayaran mereka wajib menunjuk General Agent (Agen Umum) di Indonesia.

(Pembahasan ttg BUT Keagenan dan hubungannya dgn UU Pelayaran ini akan dibahas tersendiri).

Dalam UU Pelayaran disebutkan bahwa tugas agen adalah untuk mewakili segala kepentingan principal. Hal ini dpt meliputi urusan administrasi kepelabuhanan dan pelaporan ke Ditjen Hubla DepHub, marketing, finance dan accounting (buka invoice, pembukuan, pembayaran biaya-biaya dlsb) dan segala urusan manajemen lainnya. Ada juga beberapa Agen yang ditunjuk oleh principal yang sama sekali tidak terlibat dalam transaksi penunjukkan/order sewa/charter. Charter/shipping order sebagian besar langsung dari pihak pembeli oil, gas & mineral kepada principal yang nota bene order ini terjadi di luar wilayah hukum positif Indonesia. Agen tidak tahu menahu mengenai charter karena tidak terlibat transaksi sama sekali, sehingga dengan keterbatasan ruang gerak agen, mereka disini yang melakukan kewajiban perpajakan atas principal yang telah mendaftarkan diri sebagai BUT Keagenan tersebut mendaftarkan BUT tersebut dengan kategori KLU: 61122 (Angkutan Laut Internasional Untuk Barang) dan hanya melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 15.

Pada kenyataanya wajib pajak telah melakukan aktifitas usaha angkutan laut dengan system voyage charter di Indonesia melalui suatu BUT Keagenan dan voyage charter/persewaan tersebut adalah penyerahan jasa kena pajak.

Berikut petikan dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tanggal 4 Desember 2003:

Pasal 1

Angka 10.

Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

Angka 11.

Jasa Angkutan Umum Di Laut adalah setiap kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kapal, yang dilakukan oleh Pengusaha Angkutan Laut, dalam satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, dengan dipungut bayaran.

Angka 12.

Pengusaha Angkutan Laut adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan usaha angkutan Laut.

Pasal 2

Ayat (1)

Atas penyerahan Jasa Angkutan Umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Ayat (2)

Termasuk Angkutan Umum di darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Angkutan Umum di Jalan dan Angkutan Kereta Api.

Ayat (3)

Termasuk Angkutan Umum di Air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Angkutan Umum di Laut, Angkutan Umum di Sungai dan Danau, dan Angkutan Umum Penyeberangan.

Pasal 5

Ayat (1)

Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan jasa Angkutan Umum di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah penyerahan Jasa Angkutan Laut yang dilakukan dengan cara:

a. ada perjanjian lisan atau tulisan; dan

b. Kapal dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan atau untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Laut, dalam satu perjalanan (trip).

Selanjutnya apabila dilihat Pasal 4 Undang-undang No 8 Tahun 1983 tentang PPN & PPnBM sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 Tahun 2000, disebutkan bahwa:

”Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. ...

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha

Dalam memori penjelasan UU PPN juga disebutkan Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,

b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan

c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Dengan demikian jelas sekali bahwa kita telah kehilangan penerimaan PPN dari perkembangan transaksi wajib pajak ini.

Untuk itu, jelas dapat disimpulkan bahwa BUT tersebut wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Meskipun order charter dilakukan oleh wajib pajak luar negeri bukan berarti kita kehilangan hak pemajakan, karena senyatanya jasa kena pajak (persewaan) itu diserahkan di dalam daerah pabean berarti tinggal dibuatkan Faktur Pajak Sederhana. Seandainya charter kapal itu diorder oleh perusahaan migas nasional (WPDN) tentunya harus dibuatkan Faktur Pajak Standar untuk mekanisme pemungutan PPN-nya.

Ohya saya teringat komentar teman yg masih bingung soal charter kapal dan jenis2 usaha angkutan laut, saya uraikan sedikit disini;

Angkutan laut secara umum diselenggarakan dengan system:

1. Liner

Ilustrasi di darat adalah bus umum, misalnya kopaja 57; tiap hari jalurnya sama ‘kampung rambutan-blok M’ bolak-balik secara regular, dan jalur yg dilewati juga tetap, pasti liwat kalibata depan kantorku, kaga mungkin dia liwat buncit raya terus ke tol simatupang, bisa dibakar itu bus ame penumpangnya.. hahaha, lagian mau penuh luber ampe gelantungan ato cuman isi satu or dua penumpang tetap dia harus jalan. Tarifnya? jauh dekat sama cing.

2. Charter

Namanya juga charter alias sewa tentunya bisa dipake sesuai keinginan si penyewa baik jalur maupun muatannya, mau charter kosongan alias sewa kapalnya aja (bareboat basis) ato mo sewa kapal sak kru-kru’ne lengkap (fully manned basis), atau mau dipake regular tiap saat selama suatu periode tertentu or dicharter utk satu kali trip aja. Terserah yg nyarter deh pokoknya.

Khusus atas jasa angkutan laut untuk oil, gas, coal, clinkers, granite dan muatan khusus lainnya biasanya dilakukan dengan system charter baik itu time charter, ataupun voyage/spot or short term charter. Jasa angkutan laut dengan system ini termasuk penyerahan jasa yang PPN-nya tidak dibebaskan.

Karena saat ini BUT bukan lagi binatang peliharaan KPP Badora Satu dan Dua (BUT Keagenan Kapal Asing bisa mendaftarkan diri di KPP Lokasi yg mewilayahi tempat kedudukan General Agent) maka semoga sharing saya ini bisa membantu penggalian potensi teman2 di KPP Lokasi. Kepada teman2 pelaku industry ini saya mohon juga mempelajari ketentuan secara mendalam, wajib pajak BUT disini adalah principal kapal2 asing tersebut, bukan anda, omzet yg mereka diperoleh dari usaha pengangkutan ini adalah omzet mereka bukan omzetnya general agent, general agent hanya memberikan jasa manajemen keagenan sbgmn sy tulis diatas. Dan charterer yg sebagian besar langsung dari luar tidak bisa begitu saja kabur, senyatanya mereka telah memanfaatkan jasa kena pajak di dalam daerah pabean kita maka mereka patut dipungutin PPN, andalah yang diwajibkan memungutnya. So, apakah anda rela principal yg anda wakilin manajemennya dan para charterernya ternyata membawa kabur uang pajak Negara? Pastinya disini anda (general agent) harus menyadari memiliki peran ganda, pertama sebagai perusahaan pelayaran dalam negeri, kedua sebagai general agent yang mewakili principal kapal asing. Untuk dpt melaksanakan kewajiban memungut PPN ini BUT anda wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayo kita gali penerimaan untuk Negara. Perkara apakah nanti uang pajak di kas Negara ini dipake untuk apa, itu bukan peran kita, mudah2an mereka jg melaksanakan peran dgn baik, mari kita lakukan peran kita dulu sebaik-baiknya.

Terimakasih, sampe ketemu di pembahasan BUT Keagenan Kapal Asing