Bonekryzie Jenkins my facebook and my twitter bonekryzie »

14 Okt 2009

PPn kepelabuhan

Perdebatan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa kepelabuhanan antara pengelola pelabuhan di Surabaya dengan Ditjen Pajak, beberapa waktu lalu sangat menarik perhatian. Kelihatannya sangat serius.

Dari perdebatan tersebut, seolah tidak atau belum ada kesepakatan bahwa atas jasa kepelabuhanan dikenakan PPN. Apakah Ditjen Pajak telah secara sewenang-wenang mengenakan PPN sekitar Rp 79 miliar ? Atau pengelola pelabuhan merasa tidak harus mengenakan PPN tersebut ?

Perdebatan ini memang bisa jadi dilema. Bila tidak dikenakan, akan bisa berimbas atau mengikut ke jenis jasa lainnya untuk minta diberlakukan sama. Sedangkan bila dikenakan, dikatakan pajak membenani dunia usaha, tidak kondusif.

Prinsip pengenaan PPN

Setiap pengenaan pajak memang harus mengacu kepada prinsip dasar yang ada. Ini untuk menghindari kesalahan atau perbedaan penafsiran, apalagi bertindak sewenang-wenang. Cukup sering memang berita yang menyebutkan bahwa atas anu, seharusnya tidak kena pajak. Instansi atau lembaga atau asosiasi ini, meminta dibebaskan pajak. Apakah semudah itu, seolah tidak ada aturan mainnya. Sehingga terkesan semaunya.

Di Indoensia, pemerintah tidak boleh sewenang-wenang mengenakan pajak. Harus senafas dengan Pasal 23 (2) UUD 1945 dan amandemennya, yakni berdasarkan undang-undang sebagai dasar hukumnya. Bila tidak, masyarakat bisa menolak. Karena negara menarik pajak dari rakyat harus sepengetahuan dan persetujuan (kesepakatan dengan) rakyat sendiri, melalui wakilnya yang dinyatakan dalam UU.

Seperti halnya pengenaan PPN, yang telah berlaku sejak 1 April 1985. Dasar hukumnya sangat jelas dengan UU No. 8/1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 18/2000. Disebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan atau impor atau ekspor atau pemanfaatan atas barang kena pajak (BKP), atau penyerahan atau pemanfaatan atas jasa kena pajak (JKP).

Salah satu karakteristik PPN adalah sebagai pajak atas konsumsi. Sehingga pengenaannya dilakukan atas setiap konsumsi terhadap BKP atau JKP yang dilakukan siapa saja, sepanjang berada di dalam daerah pabean. Apakah pelabuhan termasuk daerah pabean? UU Kepabeanan dengan tegas menentukannya, termasuk yang di Surabaya.

Namun yang mengenakan PPN tidak boleh sembarangan. Melainkan hanya pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Kantor Pelayanan Pajak. Batasannya, telah memperoleh omzet Rp 600 juta atau lebih dalam setahun, atau bagian tahun.

Pengusaha yang belum terdaftar, maka tidak bisa atau dilarang mengenakan PPN. Karena PPN yang dipungut bisa jadi tidak disetorkan ke kas negara. Sebab pengusaha tersebut tidak masuk atau tidak dikenal dalam sistem PPN. Bila tetap mengenakan, akan dikenakan sanksi perpajakan. Demikian juga, bila pengusaha telah memperoleh omzet di atas Rp 600 juta, tetapi tidak mendaftar sebagai PKP, akan dikenakan sanksi perpajakan. Karena telah wajib mendaftar sebagai PKP.

Daftar negatif

UU PPN telah memberikan penegasan mengenai mana barang yang dikenakan pajak, dan mana jasa yang dikenakan pajak. Khusus mengenai jasa, pengenaan PPN-nya diatur tersendiri dalam Pasal 4 huruf c dan d, dan Pasal 4A ayat (3).

Bahwa tidak semua jasa dikenakan pajak, melainkan hanya yang termasuk dalam kategori sebagai jasa kena pajak saja. Untuk mengetahui jasa-jasa mana saja yang dikenakan PPN, UU telah menetapkannya melalui daftar jenis jasa yang tidak dikenakan PPN atau negative list.

Secara umum, ada 12 jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Inilah sebenarnya yang menjadi pedoman atau pegangan bagi siapa saja yang berhubungan dengan PPN. Kena pajak atau tidak. Karena telah berupa negative list, berarti jenis jasa yang tidak (di luar) ditetapkan tersebut adalah sah secara hukum untuk dikenakan PPN. Untuk operasional pelaksanaannya ditegaskan lagi dalam PP No. 144/2000.

Bila diamati dalam ketentuan tersebut, tidak disebutkan bahwa jasa kepelabuhanan termasuk dalam negative list. Hal ini berarti, tidak ada alasan untuk tidak mengenakan PPN atas jasa kepelabuhanan.

PPN di Indonesia menganut sistem pemungutan. Dalam hal ini, setiap PKP yang menyerahkan BKP atau JKP wajib untuk memungut PPN. Besarnya 10% dari nilai penyerahan. Khusus untuk ekspor tarifnya 0%.

Dalam kasus jasa kepelabuhanan di manapun kegiatannya, sepanjang masih berada di dalam daerah pabean, maka pengelola pelabuhan wajib memungut PPN atas setiap pemanfaatan atau penggunaan jasa kepelabuhanan. Kewajiban memungut ini tanpa harus menunggu informasi atau tagihan dari KPP. Ini sesuai dengan sistem self assessment yang juga diterapkan.

Sesuai dengan prinsipnya, maka yang dikenakan atau yang menanggung PPN adalah yang menggunakan atau memperoleh manfaat dari jasa kepelabuhanan. Yaitu perusahaan pelayaran, baik nasional maupun internasional tanpa terkecuali. Hal ini karena PPN kedudukannya adalah pajak objektif. Sedangkan dalam tax treaty, biasanya yang diatur kesepakatannya hanya menyangkut PPh sebagai pajak subjektif.

Yang sering sekali ditemukan di lapangan, wajib pajak atau PKP tidak tahu bahwa atas sesuatu jasa yang diserahkan kepada pihak lain dikenakan PPN. Padahal secara hukum, bila suatu UU telah diundangkan dalam lembaran negara, maka seluruh masyarakat telah mengetahuinya. Apalagi UU PPN, telah ada dan berlaku selama dua dekade. Bahkan semua pengusaha umumnya berhubungan dengan PPN.

Bila demikian halnya, maka berjalanlah asas tanggung jawab renteng yang berlaku dalam perpajakan. Bahwa PKP yang seharusnya memungut PPN, tetapi tidak melaksanakan pemungutan, maka yang dikenakan dan terutang PPN otomatis beralih kepada PKP pemungut. Dalam kasus di atas adalah pengelola pelabuhan.

Dengan demikian, jelaslah bagaimana seyogianya pengenaan dan pemungutan PPN atas jasa kepelabuhanan. Bahwa UU PPN tidaklah untuk diperdebatkan pelaksanaannya, boleh yang boleh tidak, asal garis pedomannya tidak menyimpang. Bila memang tidak kondusif lagi untuk dilaksanakan, UU-nyalah yang diamandemen terlebih dahulu.

Oleh Liberty Pandiangan
Staf Ditjen Pajak, Alumnus Magister Sains Universitas Indonesia

Bisnis Indonesia / Senin, 19 Septermber 2005

0 komentar: