Bonekryzie Jenkins my facebook and my twitter bonekryzie »

14 Okt 2009

SUBSTANSI MATERI POKOK YANG PERLU DIATUR DALAM RUU TENTANG PELAYARAN

  1. Substansi materi dari RUU Pelayaran tidak berbeda dengan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, karena RUU Pelayaran direvisi hanya dengan mempertimbangkan UU tentang Otonomi Daerah. Namun, perumusannya tidak tepat dan tidak normatif.
  1. Kepelabuhanan
    1. Hierarki Pelabuhan
    2. Hierarki pelabuhan dikaitkan dengan kewenangan pemberian perijinan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga terdapat :
      1. Pelabuhan Internasional/Nasional/Hub yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Pusat;
      2. Pelabuhan Regional yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Propinsi; dan
      3. Pelabuhan Lokal yang perijinannya diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
      Di dalam RUU Pelayaran usulan Pemerintah cq. Departemen Perhubungan, pelabuhan lokal hanya untuk melayani angkutan laut dalam Kabupaten/Kota, sementara pelabuhan regional hanya melayani angkutan laut dalam propinsi serta pelabuhan internasional/nasional/hub untuk melayani angkutan laut dalam negeri maupun luar negeri.
      Secara normatif hierarki yang diusulkan oleh Pemerintah cq Departemen Perhubungan tidak tepat karena :
      1. Pelabuhan ditentukan oleh fasilitas dan aktivitas dimana pasar akan sangat berperan;
      2. Kondisi geografis Indonesia tidak bisa ditata dengan konsep yang diusulkan oleh Pemerintah karena setiap daerah mempunyai keunggulan komparatif yang berbeda. Oleh karena itu, lebih tepat apabila hierarki pelabuhan terdiri dari pelabuhan hub, pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan, dan perijinan pembangunan sampai dengan pengoperasian pelabuhan diberikan oleh Pemerintah Pusat cq. Menteri Perhubungan dengan rekomendasi Gubernur dan Bupati/Walikota;
      3. Penggolongan pelabuhan terlalu banyak yang terdiri dari :
        1. Pelabuhan Laut Umum yang diusahakan;
        2. Pelabuhan Laut Umum yang tidak diusahakan;
        3. Pelabuhan Khusus;
        4. Pelabuhan Perikanan;
        5. Pelabuhan Penyeberangan (RO-RO);
        6. Pelabuhan Daratan (dry port);
        7. dan lain – lain
        8. Seharusnya penggolongan pelabuhan terbagi menjadi pelabuhan utama yang berfungsi sebagai hub, pelabuhan pengumpul (collector port) dan pelabuhan pengumpan (feeder port) dimana didalam pelabuhan terdapat berbagai terminal (RO-RO, terminal kendaraan, terminal penumpang, terminal multipurpose, terminal petikemas,.....dll). Sementara untuk pelabuhan perikanan, pangkalan angkatan laut dan pangkalan KPLP disebut pangkalan karena modus pergerakan kapal yang terdaftar setelah menyelesaikan kegiatan akan kembali ke lokasi yang sama (dalam bahasa inggris dikenal naval base, fishing fleet base, coastguard base). Untuk pelabuhan khusus diusulkan menjadi terminal khusus yang berada di bawah pengawasan pelabuhan umum (hub/pengumpul/pengumpan) terdekat
    3. Institusi di Pelabuhan
    4. Sebagaimana diketahui bahwa pelabuhan merupakan infrastruktur yang mempunyai fungsi fasilitas publik, oleh karena itu harus diselenggarakan oleh Pemerintah.
      1. Prinsip-prinsip pembenahan institusi di pelabuhan adalah sebagai berikut :
        Perlu adanya pemisahan yang tegas antara fungsi pemerintahan (regulator dan fasilitator) dengan fungsi pengusahaan (operator) yang dibedakan menjadi :
        1. Regulator dan Fasilitator menjalankan fungsi penyelenggara pelabuhan dilakukan oleh Pemerintah dalam institusi Otorita Pelabuhan yang didalamnya terdiri dari wakil Pemerintah Pusat, wakil Pemerintah Propinsi, wakil Pemerintah Kabupaten/Kota, Stakeholders, para ahli di bidang yang berhubungan dengan Pelabuhan, pakar kebijakan dan pakar hukum serta profesional. Dalam pelaksanaan tugasnya Otorita Pelabuhan mendapatkan pengawasan dari Dewan Pelabuhan yang anggotanya merupakan wakil-wakil dari Pemerintah.
        2. Regulator dan Fasilitator menjalankan fungsi pengawasan dan terlaksananya seluruh aturan baik nasional maupun internasional yang telah diratifikasi dalam Bidang Keselamatan dan Keamanan oleh institusi Kesyahbandaran. Syahbandar merupakan kuasa dari Undang-Undang terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan maritim.
        3. Operator menjalankan fungsi pengusahaan terminal dan fasilitas jasa pelabuhan lainnya sesuai dengan ijin usahanya. Operator Terminal dan Operator Jasa Fasilitas Pelabuhan lainnya merupakan institusi yang berorientasi pada profit. Secara normatif penyelenggara pelabuhan bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kelestarian infrastruktur, sedangkan pengusahaan pelabuhan yang terdiri dari berbagai kegiatan (operator) bertanggung jawab terhadap keberadaan dan kesinambungan suprastruktur pelabuhan.
        4. Konsepsi pemisahan peran dan fungsi regulator/fasilitator dengan operator masih belum tergambar secara jelas dan nampaknya Pemerintah masih mengayomi peran PT. Pelindo sebagai Regulator/Fasilitator dan Operator. Oleh karena itu perlu diatur secara jelas bahwa peran sebagai Regulator/Fasilitator dilaksanakan oleh Pemerintah yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota) secara konkuren sebagai Penyelenggara Pelabuhan dan peran sebagai Operator dilaksanakan oleh Badan Hukum Indonesia (BHI) yang terdiri dari BUMN, BUMD dan BUMS. Hal ini telah diamanahkan secara gamblang dalam Inpres No. 5 tahun 2005 dan telah di tuangkan dalam roadmap penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri oleh Departemen Perhubungan.
      2. Fungsi pemerintahan di pelabuhan (regulator dan fasilitator) terdiri dari :
        1. Otorita Pelabuhan mempunyai kewajiban pokok antara lain :
          1. merencanakan, menyediakan, memelihara dan mengembangkan infrastruktur kepelabuhanan;
          2. merencanakan dan mengatur peruntukan lokasi kegiatan-kegiatan usaha sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan, fasilitas-fasilitas pendukung di luar pelabuhan termasuk menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial kebutuhan masyarakat di pelabuhan ;
          3. merencanakan dan menyusun area fasilitas pendukung kegiatan pelabuhan;
          4. menyediakan fasilitas pengelolaan limbah, sarana penanggulangan kebakaran, tumpahan minyak dan penanganan kondisi darurat di pelabuhan yang dapat menjamin kelestarian dan keselamatan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
          5. melaksanakan koordinasi kerja dengan semua pihak terkait untuk ketertiban, keamanan dan kelancaran pelayanan pelabuhan;
          6. melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki di pelabuhan; memelihara kedalaman kolam pelabuhan untuk keselamatan pelayaran.
            Sebagai catatan :
          1. Peran dan fungsi dari Administrator Pelabuhan tidak dihapus, akan tetapi Administrator Pelabuhan menjadi bagian dari Otorita Pelabuhan (melebur).
          2. Pelindo seperti juga Adpel tidak perlu khawatir akan kehilangan assetnya, karena Pelindo beserta seluruh asset dan SDMnya menjadi Operator Terminal dan Operator Jasa Faslitas Pelabuhan lainnya sesuai dengan asset yang telah dipunyai.
          3. Pelindo dengan pengalamannya, dapat menjadi Operator Terminal dan Operator Jasa Fasilitas Pelabuhan yang handal. Perubahan yang diusulkan adalah agar supaya peran dan fungsi regulator dan fasilitator dikeluarkan dari Pelindo dan dikembalikan kepada Pemerintah karena pada dasarnya Pelindo sudah menjadi Badan Hukum Indonesia berupa Perseroan Terbatas (PT) yang secara hukumnya harus mengikuti peraturan dan kebijakan dari UU tentang Perseroan Terbatas (PT).
        2. Syahbandar yang mempunyai kewajiban :
          1. sebagai kepala pemerintahan dan sebagai koordinator fungsi-fungsi pemerintahan di pelabuhan
          2. menyelesaikan hambatan-hambatan teknis yang terjadi di pelabuhan;
          3. sebagai penyidik atas pelanggaran dan/atau tindak pidana di pelabuhan serta melakukan penahanan terhadap kapal di pelabuhan atas perintah pengadilan;
          4. mengeluarkan ijin kegiatan di fasilitas pelabuhan dan terminal serta mengeluarkan Surat Ijin Berlayar (SIB);
          5. melaksanakan pendaftaran kapal, pengesahan perjanjian kerja laut, sijil awak kapal dan legalisasi jurnal (log book) kapal
          6. menyusun sistem dan prosedur Port Clearance in/out
          7. melaksanakan pengawasan, penertiban dan penegakan hukum di pelabuhan
          8. membina keselamatan dan keamanan sesuai hukum Nasional dan Internasional yang berlaku;
          9. mengendalikan penanganan musibah di pelabuhan dan di sekitar perairan pelabuhan;
          10. melaksanakan investigasi kecelakaan-kecelakaan di pelabuhan;
          11. melaksanakan fungsi pengawasan negara pelabuhan sesuai konvensi-konvensi Internasional yang berlaku dipelabuhan;
          12. menyelenggarakan sistem informasi lalulintas kapal
          13. sebagai superintenden pandu
          14. melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di pelabuhan serta melakukan pungutan atas pelayanan jasa kepelabuhanan sebagai pendapatan negara bukan pajak.
        3. Bea Cukai;
        4. Imigrasi; dan
        5. Karantina.
          Tugas pokok, wewenang dan fungsi instansi Bea cukai, Imigrasi dan Karantina dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kompetensi di bidang masing- masing.
      3. Fungsi Pengusahaan
        Nampaknya Pemerintah tetap mempertahankan PT. Pelindo, yang saat ini merangkap sebagai fungsi penyelenggara dan pengusahaan pelabuhan dalam arti berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan operator. Sedangkan dalam Inpres No. 5 tahun 2005 secara jelas dan gamblang mengamanahkan bahwa fungsi pemerintahan yaitu regulator dan fasilitator menjadi tugas pemerintah sedangkan fungsi pengusahaan menjadi tugas dari operator yang dapat bebentuk BUMN, BUMD, BUMS, Koperasi dan Perorangan.

      4. Saat ini terjadinya tumpang tindih kewenangan kepemerintahan di pelabuhan antara Adpel dan PT. Pelindo. Siapa regulator dan siapa operator menjadi tidak jelas, bahkan pengusahaan fasilitas pelabuhan cenderung mengarah monopolistik dari BUMN Pelabuhan yaitu PT. Pelindo. Selain simpang siur dalam operasional di Pelabuhan, tumpang tindih juga mengakibatkan operasional biaya tinggi di pelabuhan karena siapa saja bisa masuk pelabuhan asal bisa bayar. Hal ini dapat membahayakan keamanan karena kegiatan di Lini 1 pelabuhan merupakan daerah terbatas (restricted area) sebagaimana diatur dalam International Safety Port and Ship Security (ISPS) Code 2002.
        Dalam konsep RUU dari Pemerintah dibuka kesempatan kepada swasta untuk menjadi penyelenggara pelabuhan (Pasal 43). Hal ini sangat berbahaya karena apabila swasta dapat menjadi penyelenggara pelabuhan akan masuk penetrasi negara asing sehingga fasilitas pelabuhan yang seharusnya merupakan fasilitas publik menjadi dikuasai oleh negara asing. Dengan demikian, maka akan terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Contoh : Indosat. Oleh karena itu, diusulkan swasta hanya dimungkinkan melakukan investasi untuk menjadi operator terminal atau operator fasilitas pelabuhan lainnya dengan cara built operate transfer (BOT) untuk jangka panjang. Sebagaimana diketahui bahwa terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya merupakan bagian dari pelabuhan. Sementara itu, penyelenggara pelabuhan tetap dilakukan oleh Pemerintah cq. Otorita Pelabuhan yang terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) secara konkuren.
  2. Angkutan Laut
    1. Implementasi Asas Cabotage
      Asas cabotage adalah hak dari negara untuk mengangkut muatan dalam negeri dengan menggunakan armada berbendera negara yang bersangkutan dan awak kapal yang berkewarganegaraan negara tersebut. Asas cabotage merupakan kewenangan dari negara yang bersangkutan dan tidak bertentangan dengan WTO. Implementasi dari asas cabotage secara tidak langsung akan mendukung sistem akumulasi dan distribusi khususnya untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

      Permasalahan utama adalah tidak mencukupinya armada angkutan laut nasional untuk bersaing setara dengan angkutan laut asing, yang mengakibatkan sebagian besar muatan angkutan laut dalam negeri diangkut oleh kapal berbendera asing. Muncul potensi gangguan terhadap kedaulatan negara karena azas cabotage tidak dapat dilaksanakan. Dalam RUU tentang Pelayaran implementasi asas cabotage diatur secara normatif dengan tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran oleh semua pihak (regulator, operator dan pengguna jasa) terkait dalam penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri. Secara nyata selama ini pihak terkait tidak mempunyai program yang dijalankan secara konsekuen walaupun ada roadmap dan aturan – aturan yang mengharuskan pengutamaan penggunaan kapal – kapal nasional yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional untuk muatan dalam negeri khususnya milik BUMN (contoh : beras, batubara, migas dan lain – lain).

    2. Penyelenggaraan Trayek Tetap dan Teratur Pelayaran Dalam Negeri
      Sebagaimana diketahui bahwa sejak dilaksanakannya deregulasi dan debirokratisasi melalui Inpres No. 4 tahun 1985 dan Paket November 1988, penyelenggaraan trayek tetap dan teratur (liner) dan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper) sepenuhnya diserahkan kepada Perusahaan Pelayaran baik secara sendiri – sendiri maupun secara bersama – sama.

      Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri dari 17.508 pulau, setiap titik simpul dari pulau – pulau yang ada harus dapat dikunjungi secara tetap dan teratur sebagai perwujudan dari wawasan nusantara. Disamping untuk kepentingan distribusi dan akumulasi, juga untuk terjaminnya ketahanan pangan dan ketahanan nasional (IPOLEKSOSBUD HANKAMNAS). Oleh karena itu, pengaturan penyelenggara trayek tetap dan teratur dan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur tidak dapat dilepaskan kepada perusahaan - perusahaan pelayaran saja. Hal ini akan merugikan negara karena terdapat titik – titik simpul yang tidak dikunjungi secara tetap dan teratur oleh armada pelayaran nasional, sehingga bertentangan dengan konsepsi pembangunan nasional berwawaskan nusantara dan potensi pengaruh asing akan semakin dominan .

      Dalam konsep RUU tentang Pelayaran hal-hal mengenai trayek tidak diatur secara jelas. Oleh karena itu, kami mengusulkan pengaturan penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri khususnya trayek tetap dan teratur yang diselenggarakan dengan sistem paket pelayaran nusantara. Dalam paket pelayaran nusantara ini, BUMN pelayaran yang selama ini sudah berpengalaman dalam menyelenggarakan pelayaran tetap dan teratur ditunjuk sebagai koordinator dari perusahaan – perusahaan pelayaran nasional dengan supervisi dari pemerintah. Pemerintah menetapkan jaringan trayek lengkap dengan kode trayeknya, frekuensi kunjungan kapal dan tarif angkutan. Koordinator paket pelayaran nusantara menempatkan kapal dalam setiap kode trayek dan dilaksanakan kontrak pelayanan tratek tetap dan teratur antara pemerintah dengan koordinator paket pelayaran nusantara.

      Dengan kepastian adanya jaminan muatan dari setiap trayek yang dilayani oleh perusahaan pelayaran maka perusahaan pelayaran dapat mengupayakan kredit dari lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Dalam penyelenggaraan trayek pelayaran tetap dan teratur diperlukan ketepatan waktu dan jaminan kapal untuk dapat bersandar di dermaga. Oleh karena itu, perusahaan pelayaran yang menyelenggarakan pelayaran trayek tetap dan teratur di prioritaskan untuk menjadi operator terminal di pelabuhan.

    3. Penyelenggaraan Angkutan Luar Negeri
      Dalam penyelenggaraan angkutan laut luar negeri posisi saat ini lebih memprihatinkan dari angkutan laut dalam negeri karena saat ini share muatan yang diangkut oleh armada nasional ± 5%. Hal ini mengakibatkan defisit transaksi jasa pada neraca transaksi berjalan dalam neraca pembayaran nasional. Masalah ini sudah teridentifikasi sejak lama, namun upaya penyelesaian tidak menyeluruh, sehingga menjadi berlarut-larut.

      Saat ini per tahunnya, Indonesia mempunyai ekspor rata-rata sebanyak 5.000.000 boks. Karena Indonesia hanya mempunyai armada yang sangat kecil, maka trayek kapal dikendalikan perusahaan asing yang berakibat perusahaan Indonesia kehilangan kesempatan mengangkut. Potensi hilangnya devisa yang diakibatkan penggunaan pelayaran asing rata-rata US$ 10 Milyar per-tahun (US$ 2.000 per boks). Selain itu karena tidak adanya pelabuhan hub (laut dalam) di Indonesia maka setiap eksport melalui laut harus melalui (transit) di Singapura dengan biaya transit ± US$ 7 Milyar per tahun.

      Sampai dengan tahun 1985 share muatan ekspor/impor Indonesia dapat mencapai ± 38%. Akan tetapi, dengan adanya kesalahan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengakibatkan share muatan luar negeri turun secara drastis sampai dengan 3% dan dalam 3 (tiga) tahun terakhir share muatan luar negeri mulai membaik hingga mencapai ± 5%. Mengingat rendahnya share muatan untuk angkutan laut luar negeri maka dalam RUU perlu diatur sebagai acuan untuk aturan dibawahnya hal – hal yang berhubungan dengan program peningkatan share muatan secara bertahap sehingga dapat mencapai share muatan yang wajar (fair share).

    4. Pengembangan Armada
      Industri Pelayaran Nasional mempunyai ciri khusus yaitu capital intensive, slow yielding dan high risk. Oleh karena itu, industri pelayaran nasional perlu mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana negara – negara lain yang menerapkan kebijakan dalam bentuk maritime subsidies (Amerika, Jepang, Belanda, Singapura, Korea, Cina, Jerman dan lain – lain). Perhatian yang tinggi terhadap industri pelayaran nasional oleh negara – negara bersangkutan dikarenakan kapal yang digunakan dalam industri pelayaran menggunakan bendera negara (flag state) yang menggambarkan kedaulatan dari suatu negara. Oleh sebab itu, penanganann dari industri pelayaran tidak dapat disamakan dengan industri moda transportasi lainnya dan sektor lainya.

      Selain itu pelayaran nasional seharusnya merupakan infrastruktur ekonomi yang saat ini tidak dikelola dengan baik dan bahkan berada dalam tingkat yang dapat mengancam keberadaan sektor ini secara strategis. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pangsa pasar yang dikuasai oleh sektor ini baik untuk pelayaran dalam negeri dan luar negeri.

      Di samping itu, berbagai kebijakan justru makin memperlemah sektor ini. Untuk dapat mengatasi lemahnya industri pelayaran nasional perlu dilakukan penajaman terhadap visi, strategi dan rencana secara terpadu. Industri Pelayaran / Angkutan Laut Nasional yang kuat haruslah memberikan peran dan kemandirian bagi bangsa Indonesia dalam mengelola secara maksimal industri tersebut, yang dalam hal ini meliputi industri jasa pelayaran, jasa kepelabuhanan, industri galangan kapal dan industri-industri pendukung.

      Majunya indrustri pelayaran nasional dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara dan pembangunan, serta mempunyai potensi multiplier effect yang besar dan luas. Oleh karena itu Pemerintah berkewajiban untuk membangun industri pelayaran nasional melalui pengembangan armada dengan cara antara lain :
      1. pinjaman lunak dan dalam jangka waktu yang panjang kepada perusahaan pelayaran nasional dan industri jasa maritim lainnya;
      2. pembebasan PPn dalam pembangunan kapal, pembelian sukucadang kapal, uang tambang dan uang jasa pelabuhan
      3. pembebasan PPh perorangan bagi nakhoda dan awak kapal
      4. penyusutan progresif dan dipercepat
      5. rabat investasi pengembangan kapal
      6. pembebasan pajak penjualan kapal untuk investasi peremajaan armada niaga nasional; dan
      7. subsidi dalam pengadaan kapal.

  3. Penegakan Hukum
    Selama ini penegakan hukum atas ditaatinya UU tentang pelayaran masih carut marut karena dilaksanakan oleh multi instansi (TNI – AL, Pol. Airud, KP3-Polisi, KPLP-Dephub, Bea Cukai, PNS Perikanan) tanpa adanya kejelasan mengenai hak dan kewenangannya. Dalam RUU tentang Pelayaran pengaturan penegakan hukum tidak ada perubahan, selain masih bersifat mengambang juga dilaksanakan oleh multi instansi.

    1. Perlu diketahui bahwa Penegakan Hukum atas UU Pelayaran merupakan lex specialist yang mempunyai karakteristik tersendiri yaitu :
      1. Penegakan hukum di laut dan pantai (coastal state) dilakukan oleh Komandan atau Nakhoda TNI – AL dan Komandan atau Nakhoda kapal – kapal negara dengan SOP yang mengacu kepada konvensi internasional yang berlaku.
      2. Penegakan hukum di kapal dilakukan oleh Nakhoda kapal yang bersangkutan (flag state).
      3. Penegakan hukum di pelabuhan dikoordinasikan oleh Syahbandar (port state) dan selanjutnya oleh Syahbandar di serahkan kepada masing – masing instansi sesuai dengan bidang kewenangan dari masing – masing instansi sebagai berikut :
        1. menyangkut keselamatan dan keamanan maritim dilakukan oleh Syahbandar;
        2. menyangkut kepabeanan dilakukan oleh Bea & Cukai;
        3. menyangkut keimigrasian dilakukan oleh Imigrasi;
        4. menyangkut karantina dan kesehatan dilakukan oleh Karantina Hewan, Tumbuh-tumbuhan, Ikan dan Kesehatan;
        5. menyangkut tindak pidana umum diserahkan kepada POLRI.

  4. Keselamatan dan Keamanan Maritim
    1. Pengaturan masalah keselamatan dan keamanan dalam RUU ini sudah lebih baik, namun dirasakan masih belum lengkap. Oleh karena itu perlu diatur lebih rinci agar dapat memajukan sistem keselamatan maritim yang meliputi antara lain kelautan, perlindungan lingkungan dan penegakan hukum maritim.
    2. Revisi UU Pelayaran ini merupakan momentum yang tepat untuk memposisikan sistem keselamatan dan keamanan maritim sesuai dengan fungsi dan tempatnya. Fungsi pemerintahan yang perlu diatur meliputi :
      1. Keselamatan dan Keamanan Kapal Niaga
      2. Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan
      3. Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
      4. SAR Maritim
      5. Perlindungan Lingkungan Maritim
      6. Penegakan Hukum Maritim, sebagaimana tertuang dalam huruf C

  5. Konvensi Internasional
    Untuk angkutan laut, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan maritim terdapat aturan internasional berupa konvensi – konvensi baik yang sudah maupun yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Beberapa konvensi internasional yang telah di ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) tetapi belum diatur dalam sistem perundang – undangan nasional. Oleh sebab itu substansi materi konvensi yang relevan perlu dimasukkan dalam RUU tentang Pelayaran, antara lain :
      1. Liens and Mortgage 1993 yang telah diratifikasi pada tahun 2004;
      2. ISM Code 2000 sebagai amandemen dari SOLAS 1974 yang telah diratifikasi tahun 1985;
      3. ISPS Code 2002 sebagai amandemen dari SOLAS 1974 yang telah diratifikasi tahun 1985;
      4. STCW 1978 yang telah diratifikasi tahun 1986;
      5. Sebagian dari MARPOL 1973/1978 yang telah diratifikasi tahun 1986;
    1. Ada beberapa konvensi yang seharusnya telah diratifikasi untuk kepentingan kelancaran pelayaran di Indonesia antara lain Arrest of Ship, Hague Rules, Hamburg Rules, Multimoda Transpor, Safe Container, Maritime Safe and Rescue, Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matters dan lain - lain.

  6. Pengaturan Tentang Norma, Pedoman, Standar dan Kriteria
    Penyusunan RUU tentang Pelayaran masih menganut sistem yang lama yaitu aturan – aturan pokok yang diatur dalam UU yang dilengkapi dengan aturan pelaksanaan melalui Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Hal ini mengakibatkan UU walaupun telah diundangkan tidak dapat segera dioperasional karena harus menunggu aturan pelaksanaan. Pengalaman pada masa lalu pembuatan aturan pelaksanaan memerlukan waktu 5 – 10 tahun sehingga pasal – pasal dalam UU hanya bersifat cheque kosong (tidak dapat diimplementasikan).

    Di usulkan agar peraturan – peraturan pemerintah dan aturan pelaksanaan lainnya yang bersifat penting diangkat ke tingkat UU sehingga aturan pelaksanaan hanya berisikan norma, pedoman, standar dan kriteria. Hal ini juga untuk mempermudah implementasi dari UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dimana banyak hal yang bersangkutan dengan transportasi telah di dekonsentrasikan dan di desentralisasikan ke daerah. Dengan demikian aturan pelaksanaan dari UU tentang Pelayaran cukup diatur dalam 3 (tiga) Peraturan Pemerintah yang berisikan norma, pedoman, standar dan kriteria di bidang:
    1. Angkutan Laut;
    2. Kepelabuhanan; dan
    3. Keselamatan dan Keamanan Maritim
    1. Dalam rangka implementasi good governance diusulkan adanya lembaga baru yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas kebijakan publik. Kelembagaan baru ini dapat dituangkan dalam aturan pelaksana berupa Peraturan Presiden.

  7. Pembentukan Badan baru tentang Penjagaan/Pengawal Laut dan Pantai

    Penegakan hukum terhadap peraturan – perauran dibidang kemaritiman (termasuk Undang – Undang Pelayaran) yang masih carut marut karena dilaksanakan oleh multi instansi perlu ditata kembali dalam 1 (satu) wadah yang tidak bersifat koordinatif. Semua unsur – unsur penegakan hukum yang selama ini ada, yang dikoordinasikan oleh Bakorkamla yaitu Guskamla, Pol Airud, KPLP, Bea Cukai, PNS dari DKP dan lain – lain perlu dilebur menjadi Badan Tunggal yaitu Badan Penjagaan/Pengawal Laut dan Pantai. Karena hal ini menyangkut beberapa Undang – Undang, maka seyogyanya perlu diatur dalam peraturan perundang – undangan tersendiri.

0 komentar: