Bonekryzie Jenkins my facebook and my twitter bonekryzie »

19 Des 2009

Pelayaran Antarpulau Hanya Untuk Kapal Berbendera Indonesia

Pelayaran Antarpulau Hanya Untuk Kapal Berbendera Indonesia
Oleh : Sapto Adiwiloso (indonesiaboat.com)



Asas cabotage yang segera diberlakukan mengharuskan penggunaan kapal berbendera Indonesia pada pelayaran antarpulau. Ini berarti membuka peluang bagi kapal-kapal berbendera Indonesia untuk mendapatkan kontrak yang lebih besar yang selama ini hanya dikuasai kapal-kapal berbendera asing.

---------------

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Indonesian National Shipowners Association (INSA) menyambut gembira akan diberlakukannya asas cabotage yang mengharuskan penggunanan kapal berbendera Indonesia pada pelayaran antarpulau.

Dengan diterapkannya asas tersebut, maka penggunaan kapal-kapal berbendera asing bagi pelayaran antarpulau, seperti untuk kegiatan pertambangan lepas pantai, pengeboran minyak dan sebagainya, diharamkan.

Ketua DPP Paulis A Djohan mengungkapkan kepada wartawan, Rabu (9/9) melihat sejauh ini industri pengguna angkutan kapal tampaknya belum siap memberikan kontrak untuk perusahaan pelayaran lokal. Terutama perusahaan pertambangan lepas pantai. Padahal penerapan asas cabotage bakal diterapkan dalam hitungan bulan.

INSA melihat peluang bisnis pelayaran antarpulau di Indonesia sangat besar. Di sisi lain ia prihatin, potensi penyewaan kapal dalam negeri yang hilang setiap tahun mencapai US$ 1 miliar.

Paulis menyontohkan, floating storage and offloading (FSO) atau tanker tempat menimbun minyak di tengah laut. Dari sekitar 20 yang ada di perairan Indonesia, hanya tujuh yang berbendera Indonesia. Padahal satu FSO nilainya mencapai US$ 50 juta hingga US$ 200 juta.

Melihat besarnya peluang itu, maka kini INSA gencar menyuarakan penerapan asas cabotage secara konsekuen. Menurutnya, telah tibalah saatnya kapal-kapal berbendera Indonesia berkompetisi untuk mendapatkan nilai kontrak yang cukup besar. Menurutnya selama ini, kapal-kapal lokal hanya mendapat kontrak yang nilainya tak seberapa. "Kami cuma kebagian menyewakan kapal-kapal kecil bernilai US$ 3 juta hingga US$ 5 juta," terang Paulis.

Pada Agustus lalu, lembaga yang dipimpinnya menerima keluhan dari salah satu anggotanya, yakni PT Pelayaran Kanaka Dwimitra Manunggal yang mengeluhkan ulah Hess Limited dalam memenangkan perusahaan asing PT Surf Marine untuk pengadaan kapal pengangkut awak pengeboran (crew boat). Padahal perusahaan perkapalan dalam negeri sudah bisa menyediakan crew boat.

Menurut Paulis itu menunjukkan kurang tegasnya sikap pemerintah terutama Badan Pelaksana minyak dan gas dalam menerapkan asas cabotage. "Seharusnya dalam pelaksanaan tender, mereka mensyaratkan penggunaan kapal dalam negeri," katanya.

Menyikapi situasi semacam itu, Direktorat Perhubungan Laut tak bisa berbuat banyak. Karena itu pihaknya berusaha mendorong penerapan asas cabotage dengan memfasilitasi dan melakukan sosialisasi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG P E L A Y A R A N

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2008
TENTANG
P E L A Y A R A N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-Undang;

b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan negara;

c. bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;

d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional;

e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pelayaran;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYARAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.

3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

4. Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.

5. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

6. Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.

7. Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal, yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di Indonesia.

8. Pelayaran-Perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial.

9. Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat memperlancar proses kegiatan di bidang pelayaran.

10. Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.

11. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di dalam surat izin usaha suatu perusahaan.

12. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.

13. Piutang-Pelayaran yang Didahulukan adalah tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.

14. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.

15. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.

16. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

17. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

18. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

19. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

20. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.

21. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

22. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

23. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.

24. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.

25. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.

26. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.

27. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

28. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.

29. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal.

30. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

31. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

32. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.

33. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.

34. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.

35. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.

36. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.

37. Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

38. Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.

39. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.

40. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.

41. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

42. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.

43. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.

44. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan-pelayaran.

45. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.

46. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.

47. Telekomunikasi-Pelayaran adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas pelayaran yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apa pun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan pelayaran.

48. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

49. Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang karena kondisi perairannya mewajibkan dilakukan pemanduan kepada kapal yang melayarinya.

50. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal.

51. Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.

52. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu.

53. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan.

54. Kerangka Kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau kandas atau terdampar dan telah ditinggalkan.

55. Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya.

56. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

57. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran.

58. Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.

59. Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.

60. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.

61. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

62. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

63. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

64. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran.



BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c. asas persaingan sehat;
d. asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f. asas kepentingan umum;
g. asas keterpaduan;
h. asas tegaknya hukum;
i. asas kemandirian;
j. asas berwawasan lingkungan hidup;
k. asas kedaulatan negara; dan
l. asas kebangsaan.

Pasal 3
Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

b. membina jiwa kebaharian;

c. menjunjung kedaulatan negara;

d. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;

e. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;

f. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan

g. meningkatkan ketahanan nasional.

BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk:
a. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;

b. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
c. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.

BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 5
(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.

(3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan.

(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.

(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.

(6) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:

a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;

b. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

c. mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional yang tangguh di perairan serta didukung industri perkapalan yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;

d. mengembangkan usaha jasa angkutan di perairan nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri perkapalan yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;

e. meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai dalam rangka menunjang angkutan di perairan;

f. mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran; dan

g. memenuhi perlindungan lingkungan maritim dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan.

(7) Pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan kewenangannya.



BAB V
ANGKUTAN DI PERAIRAN

Bagian Kesatu
Jenis Angkutan di Perairan

Pasal 6
Jenis angkutan di perairan terdiri atas:
a. angkutan laut;
b. angkutan sungai dan danau; dan
c. angkutan penyeberangan.

Bagian Kedua
Angkutan Laut

Paragraf 1
Jenis Angkutan Laut

Pasal 7
Angkutan laut terdiri atas:
a. angkutan laut dalam negeri;
b. angkutan laut luar negeri;
c. angkutan laut khusus; dan
d. angkutan laut pelayaran-rakyat.

Paragraf 2
Angkutan Laut Dalam Negeri

Pasal 8
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.


Pasal 9
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intra-maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).

(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.

(4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri disusun dengan memperhatikan:
a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata;
b. pengembangan wilayah dan/atau daerah;
c. rencana umum tata ruang;
d. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan
e. perwujudan Wawasan Nusantara.

(5) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut.

(6) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

(7) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan:
a. kelaiklautan kapal;
b. menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh warga negara Indonesia;
c. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan;
d. kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan
e. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.

(8) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah.


Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Angkutan Laut Luar Negeri

Pasal 11
(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.

(2) Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk angkutan laut lintas batas dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur.

(4) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.

(5) Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia.


Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri, keagenan umum, dan perwakilan perusahaan angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Angkutan Laut Khusus

Pasal 13
(1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin operasi dari Pemerintah.

(3) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan kondisi dan persyaratan kapal sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya.

(4) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum kecuali dalam hal keadaan tertentu berdasarkan izin Pemerintah.

(5) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. tidak tersedianya kapal; dan
b. belum adanya perusahaan angkutan yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan yang ada.

(6) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen umum.

(7) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat menjadi agen bagi kapal yang melakukan kegiatan yang sejenis dengan usaha pokoknya.


Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5
Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat

Pasal 15
(1) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.

(2) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.


Pasal 16
(1) Pembinaan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

(2) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk:
a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;
b. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan
c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional.

(3) Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.


Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Sungai dan Danau

Pasal 18
(1) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang bersangkutan.

(3) Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.

(4) Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra-dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

(5) Kegiatan angkutan sungai dan danau dapat dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek tidak tetap dan tidak teratur.

(6) Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.


Pasal 19
(1) Untuk menunjang usaha pokok dapat dilakukan kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.

(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan izin Pemerintah.


Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Angkutan Penyeberangan

Pasal 21
(1) Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara yang bersangkutan.

(3) Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.


Pasal 22
(1) Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.

(2) Penetapan lintas angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan;
b. fungsi sebagai jembatan;
c. hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;
d. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;
e. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
f. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar-dan intramoda.

(3) Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur.


Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Angkutan di Perairan untuk Daerah Masih Tertinggal
dan/atau Wilayah Terpencil

Pasal 24
(1) Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(2) Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan penugasan.

(3) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(4) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik.

(5) Pelayaran-perintis dan penugasan dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.

(6) Angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah setiap tahun.


Pasal 25
Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dilakukan dengan cara kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang diawaki oleh warga negara Indonesia.

Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayaran-perintis dan penugasan pada angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Perizinan Angkutan

Pasal 27
Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib memiliki izin usaha.

Pasal 28
(1) Izin usaha angkutan laut diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.

(2) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau
b. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional.

(3) Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh:
a. bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha; atau
b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(4) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memilki izin trayek yang diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
c. Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara.

(5) Izin usaha angkutan penyeberangan diberikan oleh:
a. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha; atau
b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(6) Selain memilik izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan
c. Menteri bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara.


Pasal 29
(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
(2) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.


Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan

Pasal 31

(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.

(2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. bongkar muat barang;
b. jasa pengurusan transportasi;
c. angkutan perairan pelabuhan;
d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
e. tally mandiri;
f. depo peti kemas;
g. pengelolaan kapal (ship management);
h. perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker);
i. keagenan Awak Kapal (ship manning agency);
j. keagenan kapal; dan
k. perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).


Pasal 32
(1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu.

(2) Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.

(3) Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.

(4) Kegiatan tally yang bukan tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan cargodoring, receiving/delivery, stuffing, dan stripping peti kemas bagi kepentingannya sendiri.


Pasal 33
Setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memiliki izin usaha.


Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Tarif Angkutan dan Usaha Jasa Terkait

Pasal 35
(1) Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang.

(2) Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah.

(3) Tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan.

(4) Tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.


Pasal 36
Tarif usaha jasa terkait ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.


Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan dan usaha jasa terkait diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut

Paragraf 1
Wajib Angkut

Pasal 38
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.

(2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang dan dokumen muatan.

(3) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.

Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut

Pasal 40
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.


Pasal 41
(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.

(3) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

(4) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 42
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.

(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.


Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Paragraf 3
Pengangkutan Barang Khusus dan Barang Berbahaya

Pasal 44
Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45
(1) Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:
a. kayu gelondongan (logs);
b. barang curah;
c. rel; dan
d. ternak.

(2) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk:
a. bahan cair;
b. bahan padat; dan
c. bahan gas.

(3) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bahan atau barang peledak (explosives);
b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
c. cairan mudah menyala/terbakar (flammable liquids);
d. bahan/barang padat mudah menyala/terbakar (flammable solids);
e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
h. bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan
i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).


Pasal 46
Pengangkutan barang berbahaya dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 wajib memenuhi persyaratan:
a. pengemasan, penumpukan, dan penyimpanan di pelabuhan, penanganan bongkar muat, serta penumpukan dan penyimpanan selama berada di kapal;
b. keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun internasional bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya; dan
c. pemberian tanda-tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut.


Pasal 47
Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang berbahaya tiba di pelabuhan.

Pasal 48
Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang berbahaya dan barang khusus untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang berbahaya dan barang khusus di pelabuhan.

Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Angkutan Multimoda

Pasal 50
(1) Angkutan perairan dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.
(2) Kegiatan angkutan perairan dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dilaksanakan antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha angkutan multimoda dan penyedia jasa moda lainnya.


Pasal 51
(1) Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin khusus untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah.

(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.


Pasal 52
Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan 1 (satu) dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda.

Pasal 53
(1) Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal penyedia jasa angkutan multimoda dapat membuktikan bahwa dirinya atau agennya secara layak telah melaksanakan segala tindakan untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.

(3) Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.


Pasal 54
Penyedia jasa angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.


Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesebelas
Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional

Pasal 56
Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.

Pasal 57
(1) Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:
a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
b. memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan
c. memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan.

(2) Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:
a. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu;
b. mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional;
c. mengembangkan standardisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan melakukan alih teknologi;
d. mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal;
e. memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari luar negeri;
f. membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;
g. membangun kapal yang pendanaannya berasal dari luar negeri dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan
h. memelihara dan mereparasi kapal pada industri perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.


Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri angkutan perairan dan perkuatan industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua belas
Sanksi Administratif

Pasal 59
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (8), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 33 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa kepelabuhanan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN
YANG DIDAHULUKAN

Bagian Kesatu
Hipotek

Pasal 60
(1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.

(2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

(3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.

(4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan grosse akta pengganti berdasarkan penetapan pengadilan.


Pasal 61
(1) Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek.

(2) Peringkat masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipotek.


Pasal 62
Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.


Pasal 63
(1) Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek.

(2) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari penerima hipotek.


Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan hipotek diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kedua
Piutang-Pelayaran yang Didahulukan

Pasal 65
(1) Apabila terdapat gugatan terhadap piutang yang dijamin dengan kapal, pemilik, pencarter, atau operator kapal harus mendahulukan pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan.

(2) Piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut:
a. untuk pembayaran upah dan pembayaran lainnya kepada Nakhoda, Anak Buah Kapal, dan awak pelengkap lainnya dari kapal dalam hubungan dengan penugasan mereka di kapal, termasuk biaya repatriasi dan kontribusi asuransi sosial yang harus dibiayai;
b. untuk membayar uang duka atas kematian atau membayar biaya pengobatan atas luka-luka badan, baik yang terjadi di darat maupun di laut yang berhubungan langsung dengan pengoperasian kapal;
c. untuk pembayaran biaya salvage atas kapal;
d. untuk biaya pelabuhan dan alur-pelayaran lainnya serta biaya pemanduan; dan
e. untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh kerugian fisik atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal selain dari kerugian atau kerusakan terhadap muatan, peti kemas, dan barang bawaan penumpang yang diangkut di kapal.

(3) Piutang-pelayaran yang didahulukan tidak dapat dibebankan atas kapal untuk menjamin gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e apabila tindakan tersebut timbul sebagai akibat dari:
a. kerusakan yang timbul dari angkutan minyak atau bahan berbahaya dan beracun lainnya melalui laut; dan
b. bahan radioaktif atau kombinasi antara bahan radioaktif dengan bahan beracun, eksplosif atau bahan berbahaya dari bahan bakar nuklir, produk, atau sampah radioaktif.


Pasal 66
(1) Pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diutamakan dari pembayaran piutang gadai, hipotek, dan piutang-piutang yang terdaftar.

(2) Pemilik, pencarter, pengelola, atau operator kapal harus mendahulukan pembayaran terhadap biaya yang timbul selain dari pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.

(3) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. biaya yang timbul dari pengangkatan kapal yang tenggelam atau terdampar yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin keselamatan pelayaran atau perlindungan lingkungan maritim; dan
b. biaya perbaikan kapal yang menjadi hak galangan atau dok (hak retensi) jika pada saat penjualan paksa kapal sedang berada di galangan atau dok yang berada di wilayah hukum Indonesia.

(4) Piutang-pelayaran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 65 mempunyai jenjang prioritas sesuai dengan urutannya, kecuali apabila klaim biaya salvage kapal telah timbul terlebih dahulu mendahului klaim yang lain, biaya salvage menjadi prioritas yang lebih dari piutang-pelayaran yang didahulukan lainnya.



BAB VII
KEPELABUHANAN

Bagian Kesatu
Tatanan Kepelabuhanan Nasional

Paragraf 1
Umum

Pasal 67
(1) Tatanan Kepelabuhanan Nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara.

(2) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam.

(3) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. peran, fungsi, jenis, dan hierarki pelabuhan;
b. Rencana Induk Pelabuhan Nasional; dan
c. lokasi pelabuhan.


Paragraf 2
Peran, Fungsi, Jenis, dan Hierarki Pelabuhan

Pasal 68
Pelabuhan memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
e. tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
f. mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Pasal 69
Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
a. pemerintahan; dan
b. pengusahaan.


Pasal 70
(1) Jenis pelabuhan terdiri atas:
a. pelabuhan laut; dan
b. pelabuhan sungai dan danau.

(2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempunyai hierarki terdiri atas:
a. pelabuhan utama;
b. pelabuhan pengumpul; dan
c. pelabuhan pengumpan.


Paragraf 3
Rencana Induk Pelabuhan Nasional

Pasal 71
(1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan.

(2) Rencana Induk Pelabuhan Nasional disusun dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi,
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
d. potensi sumber daya alam; dan
e. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional.

(3) Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat:
a. kebijakan pelabuhan nasional; dan
b. rencana lokasi dan hierarki pelabuhan.

(4) Menteri menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

(5) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(6) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.


Paragraf 4
Lokasi Pelabuhan

Pasal 72
(1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.

(2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan.


Pasal 73
(1) Setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan.

(2) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
a. Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
d. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan;
e. kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan; dan
f. keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal.


Pasal 74
(1) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan.

(2) Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar pada kriteria kebutuhan:
a. fasilitas pokok; dan
b. fasilitas penunjang.

(3) Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasar pada kriteria kebutuhan:
a. fasilitas pokok; dan
b. fasilitas penunjang.


Pasal 75
(1) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dilengkapi dengan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.

(2) Batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan koordinat geografis untuk menjamin kegiatan kepelabuhanan.

(3) Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, terdiri atas:
a. wilayah daratan yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; dan
b. wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur-pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antarkapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.

(4) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan yang digunakan untuk alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan, dan pemeliharaan kapal.

(5) Daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh penyelenggara pelabuhan.

(6) Pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan yang telah ditetapkan, diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 76
(1) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan untuk pelabuhan laut ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota akan kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.

(2) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan untuk pelabuhan sungai dan danau ditetapkan oleh bupati/walikota.


Pasal 77
Suatu wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta memenuhi persyaratan kelayakan teknis dan lingkungan.

Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bersambung……..cortesy from http://indonesiaboat.com